Kamis, 19 September, 2024

140 Tahun Letusan Gunung Krakatau, Mitigasi Bencana Geologi Sebuah Keharusan

(Foto: Dok. Kemen ESDM)

Tercatat jumlah korban yang tewas akibat gelombang tsunami tersebut mencapai 36.417 orang berasal dari 295 kampung di sekitar Selat Sunda.

Orang-orang di Batavia lari dan naik ke tiang lampu di wilayah Pasar Ikan, Jakarta Utara sekarang. Sebelumnya lampu-lampu berisi gas itu pecah berantakan dihempas gelombang bunyi ledakan. Gelombang Tsunami yang ditimbulkan bahkan merambat hingga ke pantai Hawaii, pantai barat Amerika Tengah dan Semenanjung Arab yang jauhnya 7 ribu kilometer, tulis Simon Winchester (2003) bukunya yang menggambarkan kedahsyatan tsunami yang ditimbulkan akibat letusan Gunung Krakatau.

Gunung Krakatau masih ada, anaknya yang lahir 1927 saat ini masih terus aktif meletus-letus, dan 5 tahun yang lalu ia meruntuhkan sebagian tubuhnya, longsor ke dalam laut, dan menimbulkan tsunami ke pantai Banten dan Lampung merenggut sekitar 450 korban tewas. Dari kejadian letusan Gunung Krakatau kita belajar bahwa manusia hidup di atas Bumi yang aktif.

Gunung Krakatau Purba

Melihat kawasan Gunung Krakatau di Selat Sunda, para ahli memperkirakan bahwa pada masa purba terdapat gunung yang sangat besar di Selat Sunda yang akhirnya meletus dahsyat yang menyisakan sebuah kaldera (kawah besar) yang disebut Gunung Krakatau Purba, yang merupakan induk dari Gunung Krakatau yang meletus pada 1883. Gunung ini disusun dari bebatuan andesitik.

Letusan Krakatau Purba, diperkirakan pada tahun 535 Masehi, mungkin dapat ditafsirkan dari kitab pedalangan Pustaka Raja Purwa yang isinya antara lain menyatakan

“… ada suara guntur yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara. Ada pula goncangan bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Kemudian datanglah badai angin dan hujan yang mengerikan dan seluruh badai menggelapkan seluruh dunia. Sebuah banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung Kamula…. Ketika air menenggelamkannya, pulau Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan pulau Sumatra”

Pakar geologi Berend George Escher dan beberapa ahli lainnya berpendapat bahwa kejadian alam yang diceritakan berasal dari Gunung Krakatau Purba, yang dalam teks disebut Gunung Batuwara. Menurut Pustaka Raja Purwa, tinggi Krakatau Purba ini mencapai 2.000 meter di atas permukaan laut, dan lingkaran pantainya mencapai 11 kilometer.

Akibat ledakan yang hebat itu, tiga per empat tubuh Krakatau Purba hancur menyisakan kaldera (kawah besar) di Selat Sunda. Sisi-sisi atau tepi kawahnya dikenal sebagai Pulau Rakata, Pulau Panjang (Rakata Kecil) dan Pulau Sertung. Letusan gunung ini disinyalir bertanggung jawab atas terjadinya tahun kegelapan di muka bumi. Wabah sampar terjadi karena suhu bumi menurun. Sampar ini secara signifikan mengurangi jumlah penduduk di muka bumi.

Letusan ini juga dianggap turut andil atas berakhirnya masa kejayaan Persia purba, transmutasi Kerajaan Romawi ke Kerajaan Byzantium, berakhirnya peradaban Arab Selatan, punahnya kota besar Maya, Tikal dan jatuhnya peradaban Nazca di Amerika Selatan yang penuh teka-teki. Ledakan Krakatau Purba diperkirakan berlangsung selama 10 hari dengan perkiraan kecepatan muntahan massa mencapai 1 juta ton per detik. Ledakan tersebut telah membentuk perisai atmosfer setebal 20-150 meter, menurunkan temperatur sebesar 5-10 derajat selama 10-30 Tahun.

Pulau Rakata, yang merupakan satu dari tiga pulau sisa Gunung Krakatau Purba kemudian tumbuh sesuai dengan dorongan vulkanik dari dalam perut bumi yang dikenal sebagai Gunung Krakatau (atau Gunung Rakata) yang terbuat dari batuan basaltik. Kemudian, dua gunung api muncul dari tengah kawah, bernama Gunung Danan dan Gunung Perbuwatan yang kemudian menyatu dengan Gunung Rakata yang muncul terlebih dahulu. Persatuan ketiga gunung api inilah yang disebut Gunung Krakatau.

Release Kemen ESDM oleh: Awang Satyana/SF

Berita Lainnya: