DENPASAR, MENITINI Gugatan Hendrikus Chandra alias Baba Siheng terhadap tanah milik Keuskupan Denpasar Nomor SHM 534 dengan luas 6.578 M2 yang terletak di Kelurahan Labuanbajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT berakhir dengan putusan NO oleh majelis hakim PN Manggarai Barat.
Majelis Hakim PN Labuanbajo yang diketuai oleh Putu Gde Nuraharja Adi Partha memutuskan gugatan Baba Siheng tidak diterima. “Menyatakan gugatan para penggugat konvensi/para tergugat rekonvensi tidak dapat diterima atau NO (Niet Ontvankelijke Verklaard),” sebut majelis hakim.
Kuasa hukum Keuskupan Denpasar, Munie Yasmin dalam keterangan pers, Rabu (1/6/2022) menjelaskan, terhadap putusan NO tersebut, Baba Siheng mengajukan banding. “Setelah diputuskan NO, mereka telah mengajukan banding di Pengadilan Tinggi Kupang. Ada pun dalil mereka bahwa mereka sudah menentukan dengan jelas batas-batasnya, seperti yang sudah dinyatakan dalam pengadilan tingkat pertama. Padahal batas-batas tanah yang digugat tidak bisa dibuktikan sehingga majelis hakim di tingkat pertama memutuskan gugatan tidak bisa diterima atau NO,” ujarnya.
Ketika para penggugat mengajukan banding ke pengadilan tinggi maka pihaknya bersama tim akhirnya mengajukan contra memori banding dan sudah diajukan ke Pengadilan Tinggi di Kupang.
Salah satu dalil kuat Keuskupan Denpasar adalah karena batas tanah yang digugat itu tidak sesuai dengan obyek yang ada di lapangan. Intinya penggugat tidak bisa menunjukan batas-batas seperti dalam materi gugatan. Hingga kini belum ada keputusan Pengadilan Tinggi Kupang. “Belum ada keputusan dari Pengadilan Tinggi Kupang. Kami selaku tim kuasa hukum telah bersurat secara resmi kepada Kapuspenkum Kejaksaan Agung agar kasus ini menjadi atensi. Selain itu, kami juga sudah mengajukan surat keberatan ke Kantor BPN Labuanbajo, Manggarai Barat. Kami menerima hasil bahwa BPN tidak dapat membatalkan Kami menerima hasil bahwa mereka tidak dapat membatalkan SHM milik Penggugat (yaitu SHM 2004 dan SHM 2005) karena masih menunggu keputusan yang bersifat tetap dan mengikat,” kata Munie Yasmin.
Bila merujuk pada hasil putusan Pengadilan Negeri Manggarai Barat maka jelas jika tanah dengan sertifikat 534 tersebut masih milik Keuskupan Denpasar. “Di situlah kami meyakini bahwa tanah ini milik Keuskupan Denpasar ketika penggugat tak bisa menunjukkan batasnya. Bagaimana penggugat mengakui tanah itu adalah tanah milik mereka, tetapi tidak mengetahui batas-batasnya. Ada juga dalil lain yang menguatkan yang sudah kami masukan dalam contra memori bandinh,” ujarnya.
Ia menegaskan, penggugat tidak menunjukkan batas-batas tanah miliknya sehingga majelis hakim memutuskan NO. “Salah satu eksepsi kami di tingkat pertama itu adalah bahwa penggugat tidak jelas menunjukkan batas-batas. Hakim juga mungkin merujuk ke situ. Jadi, kami intinya dalam kontra memori banding menyetujui pendapat dari majelis hakim tingkat pertama,” ujarnya.
Sementara Pakar Hukum Tata Negara Universitas Udayana, Dr Jimy Usfunan menyayangkan putusan hakim PN Manggarai Barat yang NO. Ia meminta hakim harus melihat kompetensi absolut dari penggugat dan materi gugatan. “Ini sangat keliru dan sangat disayangkan. Hakim hanya menggunakan yurisprudensi tahun 1971 Nomor 81. Hakim hanya bermain di bukti awal sehingga dengan kaburnya batas-batas tanah yang sedang diperkarakan langsung diputus NO. Padahal batas tanah itu hanya soal penulisan timur berbatasan dengan siapa, barat berbatasan dengan apa, Utara berbatasan dengan apa dan selatan berbatasan dengan siapa. Masih ada hal lain lebih substansial tetapi tidak dilakukan hakim,” ujarnya.
Ia menjelaskan, baik pengadilan tingkat pertama maupun pengadilan tinggi sama sama memeriksa fakta lapangan. Sehingga perlu memperhatikan kompetensi absolut dan pemisahan antara kasus perdata dan administrasi negara.
Kasus sertifikat 534 yang sudah belasan tahun lalu, karena penggugat baru menerbitkan sertifikat di atas obyek dengan memecahkan menjadi dua sertifikat sesungguhnya juga menjadi perhatian hakim dalam mengambil keputusan.
“Secara doktrin kami sangat menyesalkan putusan NO. Sebab disini pengadilan tidak bisa menjadi benteng terakhir dalam menegakan keadilan, sebab baik PN maupun PT sama sama memeriksa fakta di lapangan,” ujarnya. M-003