Oleh : Gregorius Rusmanda*)
WALAU belum ada penetapan resmi dari KPU, bisa dipastikan PDIP menang besar di Bali. Dari klaim yang disampaikan para petinggi partai berlambang kepala banteng moncong putih ini, diprediksi lima caleg PDIP akan melenggang ke Senayan, caleg dari kabupaten/kota juga akan ‘menguasai” Renon (kantor DPRD Bali). Dan semua posisi Ketua DPRD di sembilan kabupaten/kota di Bali akan disapu bersih. Capaian yang luar biasa secara politik, nyaris mengulang kedigdayaan PDIP 20 tahun silam, tepatnya pada Pemilu 1999.
Tanpa bermaksud mendahului keputusan KPU, menarik dicermati apa yang menyebabkan suara PDIP melonjak begitu signifikan di Bali? Banyak analisa berkembang, salah satunya sebagai efek ekor jas (coac-tail effect) pencalonan Jokowi sebagai presiden. Di mana PDIP sebagai pengusung utama Jokowi dan mantan Wali Kota Solo itu selama ini memang identik dengan PDIP. Masyarakat Bali juga cukup puas dengan kinerja Kabinet Kerja dalam lima tahun terakhir.
Analisa tersebut mungkin benar, namun pertanyaannya, mengapa hal yang sama tidak terjadi di derah lain? NTT dan Sulawesi Utara misalnya, di mana paslon 01 Jokowi – Ma’ruf juga unggul signifikan—merujuk hasil quick count dari sejumlah lembaga survei, mengapa PDIP di kedua provinsi itu tidak menang besar? Tampaknya, khusus dalam konteks Bali, coac-tail effect pencalonan Jokowi sebagai presiden bukan faktor tunggal. Tentu ada faktor lain.
Yang pasti, soal ketokohan dari masing-masing caleg PDIP di dapilnya, terutama yang new comer. Sementara caleg PDIP yang incumbent juga disokong oleh guyuran bansos yang selama ini cukup masif. Di luar itu, tentu ketokohan Ketua DPD PDIP Bali Wayan Koster yang mampu menggerakan mesin partai secara maksimal. Itulah yang dibahas secara khusus dalam ulasan kecil ini.
Kebijakan Koster dalam beberapa bulan ini setelah dilantik menjadi Gubernur Bali 2018 – 2023 cukup meyakinkan. Sebutlah misalnya Pergub tentang Pemasaran dan Pemanfaatan Produk Pertanian, Perikanan dan Industri Lokal Bali , Pergub Bali tentang Perlindungan dan Penggunaan Bahasa, Aksara dan Sastra Bali dan Pergub tentang Pembatasan Sampah Plastik. Belakangan juga, menjelang Pemilu 2019 lalu, Pemprov Bali bersama DPRD Bali berhasil mensahkan Perda Desa Adat. Kini, setiap hari Kamis, pelajar, mahasiswa dan pegawai, baik ASN maupun swasta mengenakan busana adat Bali.
Gebrakan Koster, walau hasil nyatanya belum terlalu kelihatan, tampaknya telah berhasil mengembalikan kepercayaan para pemilih diam (silent voters) terhadap PDIP sejak 20 tahun lalu, romantika pasca-reformasi tahun 1998. Berbagai kebijakan Koster yang sangat “Bali” belakangan ini telah mampu memanggil pulang para silent voters yang selama ini sempat berpaling ke lain hati.
Wayan Koster selaku Ketua DPD PDIP Bali sekaligus Gubernur Bali, terlihat maksimal menerapkan strategi dan kerja politik memenangkan partai yang dipimpinnya. ‘Salam satu jalur’ yang sudah didengungkan jauh hari sebelum Pemilu 2019 merupakan bagian dari strategi itu. Resonansinya menyentuh kognisi sosial hampir semua lapisan masyarakat, baik kelas menengah perkotaan maupun rakyat jelata di pelosok Bali.
Kelas menengah perkotaan menangkap “salam satu jalur’ sebagai peluang efisiensi dan efektivitas tata kelola pemerintahan dari aspek ‘one island management’. Sebab selama ini banyak kebijakan yang dianggap ideal di tingkat provinsi, namun terganjal oleh ‘raja-raja’ kecil di kabupaten/kota yang mempunyai rasionalitas berbeda berlabel kepentingan lokal serta diferensiasi haluan politik dengan gubernur.
Dengan adanya ‘satu jalur’ kepemimpinan, diharapkan kebijakan di level provinsi yang menyentuh kepentingan Bali sebagai kesatuan entitas geografis dan budaya, ke depan bisa lebih bergegas. ‘Raja-raja kecil’ di kabupaten/kota bisa lebih ‘dikontrol’ agar segenderang-sepenarian dengan kebijakan Pemerintah Provinsi. Sementara rakyat jelata di seluruh pelosok Bali menangkap ‘salam satu jalur’ sebagai semacam ‘the new ajeg Bali’—sesuatu yang di kalangan intelektual sesungguhnya masih diperdebatkan esensinya.
Selain di tataran rasional itu, Wayan Koster tampaknya juga memainkan sisi bawa sadar masyarakat Bali. Entah disengaja atau tidak, pria asal Sambiran, Buleleng ini memainkan ‘politik fashion’. Selama ini, baik dalam urusan dinas sebagai Gubernur Bali maupun sebagai Ketua PDIP Bali, Koster selalu mengenakan kostum yang identik dengan warna PDIP, kalau tidak merah, ya hitam atau putih. Jarang sekali Koster mengenakan pakaian harian berwarna coklat, hijau lumut atau berbaju Korpri sebagaimana pejabat sebelumnya. Hal ini setidaknya dalam penampilan Koster yang tertangkap kamera dan menghiasai media massa, baik mainstream cetak maupun online di Bali.
Perhatikan pula papan nama semua perusahaan swasta atau instansi/badan pemerintah yang terlihat berwarna merah-putih. Rasionalitasnya sih, menjalankan amanat Pergub Bali tentang Perlindungan dan Penggunaan Bahasa, Aksara dan Sastra Bali. Tetapi, coba tengok fisualnya. Sepintas terlihat seperti bendera merah putih, namun sesungguhnya bukan; karena tidak ada pemisahan yang jelas antara merah dan putih. Yang nampak justru gradasi warna dari merah ke putih. Hal ini menarik, karena merah putih juga kebetulan warna yang identik dengan PDIP, selain hitam.
Disengaja atau tidak, Koster seolah ingin memberi pesan bahwa PDIP merupakan partai yang bisa menjawab ‘keresahan’ sebagian besar masyarakat di Bali terhadap kelompok politik tertentu khususnya di pusat yang ingin mengganti Pancasila, tentu termasuk Sang Saka Merah Putih—sebagai identitas keindonesiaan yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Analisa ini tentu sumir dan layak diperdebatkan, tetapi ada jejak referensi kepustakaannya, bahwa warna bisa mempengaruhi persepsi seseorang.
Seorang psikolog yang mendalami peran warna dan simbol dalam kehidupan sosial, J. Linschoten berteori, warna bukanlah suatu gejala yang dapat diamati secara fisual semata. “Warna bisa mempengaruhi kelakuan, memegang peranan penting dalam penilaian estetis dan turut menentukan suka tidaknya seseorang terhadap bermacam-macam benda,” kata Linschoten. Dari pemahaman di atas, warna ikut mempengaruhi persepsi sesorang terhadap suatu benda. Dalam konteks ini, papan nama beraksara Bali dengan latar belakang ‘merah-putih’ tak semata dilihat sebagai identitas suatu lembaga, tetapi mengandung pesan simbolik bahwa lembaga-lembaga itu menjadi bagian terdepan dalam mempertahankan NKRI. Dan inisiatornya adalah Koster dan PDIP.
Dalam perspektif semiotika (ilmu tentang lambang), fenomena pemanfaatan simbol warna menegaskan bahwa penggunaan simbol mengandung makna maupun pesan tersendiri yang ingin disampaikan (dalam hal ini) oleh Koster dan PDIP kepada publik. Pesan melalui simbol itu tentu memiliki kekuatan untuk mengkonstruksi realitas bagi siapa saja yang melihat atau mencerna simbol dimaksud. Dalam kehidupan bermasyarakat, keberadaan simbol tidak dapat dilepaskan mengingat kekuatan simbol yang luar biasa menciptakan realitas, wacana, hingga imperasi mengubah tingkah laku serta persepsi publik.
Jika mencermati simbol sebagai salah satu instrumen politik, penggunaan tiga warna PDIP oleh Koster, tentu memiliki pesan politik yang ingin disampaikan kepada masyarakat. Penggunaan tiga warna itu diharapkan mampu menjadi sebuah upaya untuk ‘mempengaruhi” preferensi politik masyarakat Bali terhadap PDIP. Dengan pola yang sangat soft, melalui instruksi lisan, maupun digaungkan melalui media, mampu mengubah struktur berpikir serta bertindak pemilih. Ketika pola yang digunakan dapat diterima dan dilaksanakan dengan baik oleh semua pihak, maka tujuan telah tercapai. Di situlah keberhasilan ‘Koster Effect’ dalam Pemilu 2019.
Namun, keberhasilan ini bukan tanpa tantangan. Karena harapan masyarakat terpenuhi masih pada tataran simbol, maka sangat diperlukan hal-hal konkret untuk membumikan simbol-simbol itu. Lugasnya, kebijakan tentang pemanfaatan produk lokal, upaya menekan sampah plastik dan berbagai kebijakan populis Koster dan jajaran PDIP di kabupaten/kota harus bisa terwujud dan dirasakan masyarakat. Masyarakat juga ingin melihat apakah ke depan pemimpin-pemimpin PDIP di Bali, mulai dari provinsi sampai kabupaten/kota benar-benar bebas KKN.
Kalau PDIP mampu merawat momentum ini dengan baik dan setiap kadernya, baik di eksekutif maupun di legislatif mampu memperlihatkan kebijakan dan kerja politik yang pro- kesejahteraan rakyat, maka pada Pilgub 2023 dan Pemilu 2024 PDIP akan ‘penen raya’. Bila tidak, maka potensi terulangnya ‘paceklik’ dukungan pasca-Pemilu 1999 sangat terbuka. Bahkan, kalau tidak hati-hati mengelola kepercayaan publik kali ini, PDIP bisa terjerembap menjadi the party of past. Semoga tidak! (*)
*) penulis, wartawan tinggal di Denpasar, Bali
Gregorius Rusmanda