Jumat, 22 November, 2024

Diskriminatif, Kebijakan Zona Hijau, Praktisi : Kuta Penyangga Bandara Diabaikan

Wayan Puspa Negara Ketua LPM Legian

KUTA, MENITINI.COM, Penetapan zona hijau (green zone) di wilayah Nusa Dua (Badung), Sanur (Denpasar) dan Ubud (Gianyar) Sanur oleh Kemenkes dan Pemprov Bali dinilai diskriminatif. Sebab, daerah lain seperti Kuta yang selama ini menjadi ikon pariwisata Bali sekaligus penyangga pintu masuk Bali, Bandara Ngurah Rai justru diabaikan.

Kritikan itu dilontarkan praktisi pariwisata Kuta yang juga mantan anggota DPRD Badung Wayan Puspa Negara. “Sangat aneh, kok Bandara Ngurah Rai yang nota bene pintu masuk ke Bali yang merupakan wilayah Kuta malah tidak ditetapkan sebagai zona hijau,” kritik Puspa Negara, saat dihubungi Jumat  (19/3).

Selain masalah zona hijau, Ketua LPM Legian ini juga mengritik ada yang tidak beres dalam pendekatan pemulihan pariwisata Bali.  Elemen pariwisata direduksi menjadi sebatas urusan akomodasi, yang meliputi hotel dan restoran.

Ini tercermin dalam upaya pemulihan melalui skema hibah pariwisata PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) yang hanya diperuntukan bagi hotel. Padahal elemen pariwisata sangat banyak dan beragam.

“Ini kebijakan elitis, borjuis pariwisata yang sangat parsial dan hanya melihat pariwisata itu hanya sebagai  akomodasi (hotel dan restoran), yaitu hanya di Nusa Dua, Sanur dan Ubud. Mereka lupa bahwa bandara Ngurah Rai merupakan palang pintu utama wisatawan, yang mana masyarakat penyangga bandara juga harus diterapkan green zone, jika itu menyangkut free Covid corridor,” sesalnya.

Puspa Negara mengingatkan, berbicara pariwisata bukan hanya sebatas hotel dan restoran semata. Pariwisata sangat multi-compleks dari gabungan sejumlah elemen di dalamnya. Baik itu destinasi berupa obyek wisata, atraksi, transportasi, ekbis, seni dan budaya, confrensi, biro perjalanan, suplier hingga petani.

Karena itulah kebijakan pemulihan pariwisata termasuk penentuan green zone terkait free covid corridor harus mengintegrasikan semua sektor tersebut, sehingga mencerminkan keadilan.

Dalam pandangan Puspa Negara, jika kebijakan zona hijau tersebut hanya sebatas pada tiga wilayah dimaksud, tentu hal itu sangatlah tidak adil dan parsial. Dan ini tentunya mencerminkan ketidakmampuan para pengambil kebijakan baik di pusat maupun di Bali untuk menyelami persoalan secara komprehensif. “Tidak aneh kalau output dan solusi yang muncul juga tidak jelas,” tandasnya.

Karena itu, dia berharap ke depan pemerintah lebih peka dan menyelami persoalan yang ada. Kalau memang ingin menetapkan zona hijau, mestinya diperluas termasuk Kuta, Seminyak dan pusat pariwisata lainnya.

Kemudian segera masifkan vaksinasi di kawasan-kawasan zona hijau tersebut, sembari memastikan berjalannya prokes secara ketat di masyarakat.

Termasuk prokes berbasis CHSE yakni cleanliness (kebersihan), health (kesehata), safety (keamanan), dan environment sustainability (kelestarian lingkungan) di lingkungan industri dan objek wisata.

Selain itu dia mengimbau, Pemprov Bali perlu mengusulkan kepada Pemerintah Pusat agar mendirikan Rumah Sakit khusus Infeksi di Bali yang menangani pasien Covid-19 dengan prioritas wisatawan mancanegara.

Setelah atau sedang dibangun lalu dideklarasikan kepada dunia internasional, agar wisatawan berkunjung ke Bali bisa lebih confident. 

Setelah itu, baru pemerintah bisa membuka Bali bagi segmen internasional. “Yang penting ada tahapannya, ada target waktu. Sekian bulan ke depan melakukan apa dan terus di-update sehingga ada kepastian bagi masyarakat terutama bagi kalangan pariwisata kapan Bali dibuka untuk internasional. Jangan sampai menteri satu mendorong travel buble, mempersiapkan zona hijau untuk free Covid corridor, lalu menteri lain bicara Bali belum dibuka tahun ini. Tentu sangat membingungkan dan membuat masyarakat Bali gamang. all/den/poll