Akibatnya, sekali bongkar untuk dipajang langsung diborong habis oleh konsumen. Sehingga sepintas kelihatan jika pasokan minya goreng di ritel selalu kurang atau minyak goreng selalu langkah. Padahal minyak goreng kemasan berisi 2 liter tetap ada dipajang hanya saja cepat habis. Memang dari distributor ke toko modern atau ritel harus terdistribusi secara merata di Bali.
Sementara soal harga, pemerintah sudah menetapkan harga eceran tertinggi (HET). Namun harga tersebut tidak bisa dilakukan secara konsisten karena tidak ada distributor yang mau rugi. Biasannya mereka membebankan ongkos angkutan atau biaya distribusi. Perbedaanya tidak begitu mencolok dengan kisaran antara Rp 1000 sampai Rp 1500.
“Apalagi ada warga yang membeli kemasan minyak goreng di pasar kemudian dia jual lagi di rumahnya. Harganya tentu saja berbeda, tentu lebih mahal. Masing-masing mencari keuntungan. Kalau yang naik dari distributor tidak akan mahal. Paling hanya sekitar Rp 1000 atau Rp 1500. Namun yang dikuatirkan adalah rantai distribusi yang terlalu jauh, sudah pasti mahal,” ujarnya. HET di Bali tetap sama yakni Rp 11.500 perliter,” ujarnya. M-006
Berita Terkait
- Tren Harga Kripto Turun Terus
- Minyak Goreng Naik Bukan Masalah, Simak 5 Alternatif yang Lebih Sehat!
- Hadapi Darurat Nasional Covid-19 Ini Cara Telkomsel Memanjakan Konsumen dengan Gerakan #DiRumahTerus...
- Bangkitkan Semangat Wirausaha, Arsa Linggih Gelar Seminar 'Membangun Semangat Ekspor untuk Peningkat...