JAKARTA,MENITINI.COM-DPR membuat Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang mengatur ketentuan pidana bagi dukun santet. Keberadaan pasal ini pun menuai beragam polemik lantaran dinilai akan sulit memiliki pembuktian.
Ancaman pidana bagi dukun santet tertuang dalam Pasal 252 RKUHP. Pasal itu menyebutkan bahwa setiap orang yang menyatakan dirinya punya kekuatan gaib, memberitahukan, memberi harapan, menawarkan, atau memberi bantuan jasa ke orang lain hingga menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik dapat dipidana tiga tahun penjara atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Meskipun banyak pertentangan, tetapi tak jarang juga mendapat dukungan dari kalangan beragama dan ahli hukum.
Pakar Hukum Pidana Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad mengatakan, terdapat tiga urgensi dari Pasal 252 RKUHP. Urgensi pertama adalah yakni mengajak masyarakat untuk berpikir secara rasional.
“Pertama urgensi dari pasal ini adalah mengajak masyarakat untuk berpikir secara rasional, jangan sampai larut dengan kekuatan kekuatan gaib yang diklaim oleh satu orang tertentu. Iya (lebih mengarah ke) pencegahan,” jelas Ahmad dalam tayangan HotRoom, Metro TV, Rabu 17 Agustus 2022.
Urgensi kedua adalah tidak membenarkan perbuatan siapapun yang memfasilitasi suatu kejahatan. Hal ini dianggap tidak Pancasilais dan menimbulkan keresahan masyarakat.
“Tidak Pancasilais ketika kemudian orang memfasilitasi suatu kejahatan, memberikan bantuan jasa kejahatan, ini kan bantuan jasa kejahatan. Kan gak boleh di negara Pancasila menawarkan jasa kejahatan,” tutur dia.
Praktik perdukunan yang masih cukup marak di Indonesia tak jarang membuat masyarakat main tuduh dan main hakim sendiri. Urgensi ketiga adalah untuk mencegah hal tersebut terjadi.
“Kemudian yang ketiga adalah untuk mencegah main hakim sendiri. Ini juga menjadi penting. Pasal ini ada urgensi,” kata pakar hukum pidana itu.
Pembuktian praktik santet sesuai prinsip hukum pidana memang agak sulit dan perlu kehati-hatian. Namun menurut Ahmad, konversi istilah santet menggunakan istilah lain yang tidak multitafsir bisa dijadikan suatu pertimbangan.
“Persoalannya adalah bagaimana ada suatu konstruksi yang tidak menimbulkan multitafsir tadi itu. Tidak kemudian ini konversi menjadi satu istilah santet, karena konteksnya bukan itu. Konteksnya adalah mencegah adanya orang yang ngakunya punya kekuatan gaib dan menawarkan jasa kejahatan, yang tentunya tidak boleh terjadi di negara kita ini yang implikasinya adalah adanya penderitaan, adanya kematian, adanya penderitaan mental, sakit, dan sebagainya,” ucap dia.
Sumber: Medcom.id