Jumat, 22 November, 2024

Ekonom Senior Ini Sebut Pemerintah Ngawur Diagnosis Lapangan Kerja

Ekonom Senior, Faisal Basri

DENPASAR, MENITINI.COM Pengamat Ekonom Senior Indef Faisal Basri mengritik pemerintah ngawur dalam mendiagnosis lapangan kerja. Ia dengan tegas menyebut pemerintah salah diagnosis kebutuhan lapangan kerja terkait  penyediaan sector padat karya yang digencarkan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

“Maukah adik-adik tamatan universitas, SMA, SMK, dan diploma ini jadi pekerja di industri padat karya? Misalnya, tukang jahit di industri garmen, kan tidak. Jadi, diagnosis pemerintah ini ngawur melulu,” jelasnya saat diskusi daring Memperjuangkan Hak Buruh dalam Implementasi UU Cipta Kerja: Strategi dan Tantangan di Era Globalisasi, Selasa (8/12/2020).

Lanjutnya, berdasarkan data BPS per Agustus 2020, mayoritas pengangguran atau 13,6 persen merupakan tamatan SMK. Disusul lulusan SMA sebanyak 9,9 persen. Kemudian, lulusan diploma 8,1 persen, dan lulusan universitas 7,4 persen.

Dari sisi demografi, mayoritas pengangguran berusia 15-24 tahun. Artinya, Faisal menyimpulkan pengangguran di Indonesia mayoritas berpendidikan tinggi relatif tinggi dan berusia muda.

Sementara, pengangguran yang pendidikan SD ke bawah, justru paling sedikit, yaitu 3,6 persen. Menurut dia, pengangguran dengan latar pendidikan SD ke bawah ini justru lebih mudah mendapatkan pekerjaan.

“Jadi, masalah pengangguran di Indonesia ini menciptakan lapangan kerja bukan untuk tamatan SD. Yang tamatan SD itu, cari kerja sendiri serampangan dia lakukan,” ucapnya.

Masalah Pertumbuhan Ekonomi

Menurut Faisal, permasalahan utama di Indonesia adalah pertumbuhan ekonomi yang menunjukkan tren menurun. Ia menuturkan rata-rata pertumbuhan ekonomi di era pemerintahan Jokowi sebesar 5 persen, lebih rendah dari era sebelumnya di angka 7 persen dan 6 persen.

Ia menilai perlambatan pertumbuhan ekonomi ini dipicu oleh mesin penggerak pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan faktor produksi, modal, dan tenaga kerja. “Kita bangun ekonomi ini cuma andalkan faktor produksi, modal, dan tenaga kerja, sehingga terjadi perlambatan. Jadi, setiap tambahan pekerja dan tambahan modal menghasilkan pertumbuhan yang lebih rendah, di bawah proporsi tambahan modal dan tenaga kerjanya,”katanya. M-71/lex/ poll