DENPASAR, MENITINI.COM – Bullying atau perundungan adalah masalah sosial yang melibatkan penggunaan kekuasaan untuk mengintimidasi, mempermalukan, atau menyakiti individu lain secara berulang. Meskipun sering dikaitkan dengan anak usia sekolah, fenomena ini juga terjadi pada kalangan dokter. Idealnya, lingkungan intelek menjunjung tinggi etika dan empati. Sayang sekali, profesi jas putih juga terlibat dalam kasus bullying. Berawal dari kematian salah satu residen di Universitas Diponegoro, menunjukkan betapa kaum intelek malah menunjukkan etika minus. Sangat berkebalikan dengan gambaran ideal yang selama ini melekat dalam bayangan masyarakat awam. Alih-alih menjadi teladan malah sampai ada larangan aduan dan menimbulkan banyak prasangka. Mari kita ulas satu persatu!
Manifestasi Bullying di Kalangan Dokter
Bullying di kalangan dokter dapat terjadi dalam berbagai bentuk, baik fisik, verbal, maupun psikologis. Berikut beberapa manifestasi yang umum terjadi di lingkungan medis:
- Intimidasi Verbal: Bentuknya meliputi komentar merendahkan, kritik yang berlebihan, penghinaan, dan pelecehan verbal yang terus-menerus. Dokter junior atau residen sering menjadi korban dari senior atau atasan mereka yang menggunakan kekuasaan untuk mengintimidasi.
- Pemberian Tugas yang Tidak Wajar: Senior atau atasan mungkin memberikan beban kerja yang berlebihan atau tugas yang sangat sulit kepada dokter yang lebih junior dengan tujuan melemahkan kepercayaan diri atau menghukum mereka secara tidak adil.
- Pengucilan: Dokter yang menjadi korban sering kali diisolasi dari tim atau rekan kerja mereka, dijauhi dari pertemuan penting, atau tidak diberikan kesempatan untuk berkembang secara profesional.
- Pelecehan Fisik atau Seksual: Meskipun jarang dilaporkan, pelecehan fisik atau seksual juga dapat terjadi, dengan pelaku sering kali memanfaatkan posisi kekuasaan mereka untuk memanipulasi atau menyalahgunakan korban.
- Penghinaan di Depan Publik: Mempermalukan atau mengkritik dokter di depan pasien atau rekan kerja lain merupakan bentuk bullying yang merusak harga diri dan kepercayaan diri korban.
Faktor Penyebab
Beberapa faktor berkontribusi terhadap terjadinya bullying di kalangan dokter, antara lain:
- Hierarki yang Ketat: Dunia medis memiliki struktur hierarki yang sangat ketat. Bukannya menjalankan konsep tri dharma pendidikan, akhirnya terjadi ketidakseimbangan kekuasaan. Senior sering sekali haus hormat dan kekuasaan sehingga merasa berhak untuk mengontrol atau mendominasi junior.
- Tekanan Pekerjaan: Tingginya tekanan kerja, beban tanggung jawab, dan tuntutan waktu sering kali menyebabkan lingkungan kerja yang penuh dengan stres. Dalam kondisi seperti ini, interaksi antar dokter dapat menjadi kasar atau tidak profesional.
- Budaya Kompetitif: Budaya kompetitif, terutama dalam hal finansial, promosi, pengakuan, atau peluang karir, dapat mendorong perilaku bullying untuk menyingkirkan saingan mereka.
- Kurangnya Kesadaran dan Pelaporan: Dalam banyak kasus, bullying di kalangan dokter tidak dilaporkan karena korban merasa itu sudah lumrah terjadi. Ada juga yang takut akan konsekuensi terhadap karir mereka. Ini adalah akibat dari kurangnya mekanisme pelaporan yang efektif pada institusi medis.
Konteks Kasus Bullying Dokter di Indonesia
Di Indonesia, kasus bullying dokter bukanlah fenomena yang asing. Sangat sering terjadi sampai-sampai dianggap lumrah terjadi. Padahal tidak ada ruang lumrah untuk perundungan dalam konteks apapun. Beberapa kasus yang pernah mencuat menunjukkan bahwa perundungan dapat berdampak serius, baik bagi korban maupun layanan kesehatan secara keseluruhan.
- Kasus Dokter Residen: Banyak dokter residen di Indonesia melaporkan mengalami tekanan yang sangat tinggi, baik dari beban kerja yang berlebihan maupun intimidasi finansial dan verbal dari dokter senior atau konsultan. Dalam beberapa kasus, dokter residen bahkan mendapat perlakuan tidak adil, seperti penugasan non ilmiah melebihi kapasitas tanpa alasan ilmiah maupun tanpa mendapat transfer ilmu.
- Kejadian di Rumah Sakit Ternama: Laporan mengenai kejadian dokter junior diisolasi dari diskusi atau pertemuan penting, serta diabaikan dalam proses pengambilan keputusan. Pengalaman ini tidak hanya mempengaruhi kesejahteraan dokter yang bersangkutan tetapi juga mempengaruhi kualitas layanan kesehatan yang mereka berikan. Dalihnya selalu mengatasnamakan mental lemah.
- Bullying Berbasis Gender: Dokter wanita sering sekali menghadapi bentuk pelecehan seksual atau diskriminasi. Tekanan ini tidak hanya berasal dari rekan sejawat pria, tetapi juga dari sistem yang kurang mendukung kesetaraan gender di tempat kerja.
Dampak Terhadap Layanan Kesehatan
Bullying tidak hanya berdampak buruk pada korban secara individual, tetapi juga pada institusi medis secara keseluruhan. Beberapa dampak dari bullying di kalangan dokter meliputi:
- Kesehatan Mental: Dokter yang menjadi korban sering mengalami masalah kesehatan mental, termasuk kecemasan, depresi, dan stres yang berkepanjangan. Bahkan sudah mengarah pada burnout atau bahkan keinginan untuk bunuh diri.
- Penurunan Kualitas Layanan: Kehilangan fokus dan motivasi, yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas layanan kesehatan yang mereka berikan kepada pasien.
- Turnover Tinggi: Institusi yang memiliki budaya bullying cenderung mengalami tingkat turnover yang tinggi di kalangan staf medis, karena dokter yang merasa tidak nyaman atau tidak dihargai lebih mungkin untuk meninggalkan pekerjaan mereka.
- Hubungan Profesional yang Buruk: Lingkungan kerja yang tidak mendukung kolaborasi, kepercayaan, dan komunikasi yang baik di antara dokter, yang sangat penting untuk perawatan pasien yang efektif.
Upaya Mengatasi Bullying di Kalangan Dokter
Untuk mengatasi fenomena ini, perlu upaya yang komprehensif dan berkelanjutan. Terutama kolaborasi dengan Menteri Kesahatan dan pemegang kepentingan terkait. Beberapa langkah yang meliputi:
- Peningkatan Kesadaran: Institusi medis harus mengedukasi semua staf tentang bullying, dampaknya, dan pentingnya menciptakan lingkungan kerja yang positif. Program pelatihan dan seminar tentang bullying serta etika profesional dapat membantu meningkatkan kesadaran ini.
- Penerapan Kebijakan Anti-Bullying: Institusi medis harus memiliki kebijakan anti-bullying yang jelas, termasuk mekanisme pelaporan yang aman dan rahasia, serta sanksi yang tegas bagi pelaku.
- Membangun Budaya Suportif: Menciptakan budaya kerja yang mendukung. Hal ini termasuk mendukung dokter junior dengan mentor yang dapat membimbing mereka melalui tantangan profesional supaya tri dharma pendidikan dapat berjalan sebagaimana mestinya.
- Dukungan Kesehatan Mental: Institusi medis harus menyediakan akses mudah ke layanan kesehatan mental bagi dokter yang mengalami bullying. Dukungan psikologis dan konseling dapat membantu mereka mengatasi dampaknya dan mencegah masalah kesehatan mental yang serius.
- Pemantauan dan Evaluasi: Institusi harus secara rutin memantau lingkungan kerja dan mengevaluasi efektivitas kebijakan anti-bullying mereka. Survei anonim dan wawancara bisa menjadi alat untuk mengidentifikasi masalah dan meningkatkan upaya pencegahan.
Kesimpulan
Kasus bullying di kalangan dokter adalah masalah serius yang dapat merusak kesehatan mental, merusak hubungan profesional, dan menurunkan kualitas layanan kesehatan. Di Indonesia, fenomena ini juga terjadi, sering kali di bawah permukaan, dalam lingkungan medis yang ketat dan penuh tekanan. Dengan upaya kolektif untuk meningkatkan kesadaran, menerapkan kebijakan anti-bullying, dan membangun budaya dukungan, dunia kedokteran dapat menciptakan lingkungan yang lebih sehat. Harapannya, tidak ada lagi kasus demikian berkedok pendidikan yang dianggap lumrah. (M-010)