Perlu dipastikan agar transisi energi yang akan dilakukan baik oleh Indonesia maupun negara G20 lainnya bebas dari solusi palsu, seperti co-firing dan clean coal technology yang akan memperlambat transisi energi. “Proses dan mekanisme peralihan ini juga harus melibatkan partisipasi publik, memegang prinsip demokrasi, serta berkeadilan. G20 harus menjadi solusi untuk akselerasi transisi energi, misalnya melalui platform pembiayaan,” kata Tata. Jika elemen-elemen tersebut hilang, maka pengembangan energi terbarukan justru tak ada ubahnya dengan energi fosil yang selama ini dikuasai oleh segelintir elite.
Karena itu, beragam bentuk pembatasan dan intimidasi terhadap partisipasi publik dalam KTT G20 yang terjadi dalam beberapa hari terakhir tidak hanya melemahkan nilai-nilai dan implementasi demokrasi di Indonesia, tetapi juga bertentangan dengan semangat transisi energi berkeadilan. “Tidak ada transisi energi berkeadilan dan berkelanjutan tanpa demokrasi,” lanjutnya.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang diselenggarakan di Bali pada 15-16 November 2022 di bawah Presidensi Indonesia merupakan kesempatan bagi negara-negara emiter terbesar untuk mendorong percepatan transisi energi berkeadilan secara konkret, terutama melalui pembiayaan transisi energi yang memadai. Pembiayaan tersebut diperlukan untuk pensiun dini PLTU batubara dan pengembangan energi bersih terbarukan.
“Para pemimpin G20 harus memastikan bahwa prinsip-prinsip keadilan iklim diterjemahkan ke dalam skema transisi energi yang cepat dan adil, yang akan menghapuskan semua penggunaan bahan bakar fosil,” kata Yeb Sano, Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara sekaligus Ketua Delegasi Greenpeace di Konferensi Perubahan Iklim atau COP27.
Negara-negara G20, Yeb melanjutkan, menyumbang hampir 80% dari emisi global. Oleh karena itu, mereka memiliki tanggung jawab yang jauh lebih besar untuk memastikan tercapainya target 1,5 derajat Celcius. “Krisis iklim ada di sini, menghancurkan kehidupan, mata pencaharian, komunitas, dan budaya di seluruh planet ini. Waktu tidak ada di pihak kita; para pemimpin harus mengambil langkah berani sebelum kita berakhir dalam bencana iklim permanen.” (M-011)