Pada kesempatan yang sama, etua KEKAL Bali I Wayan “Gendo” Suardana menegaskan bahwa adanya upaya percepatan revisi PERDA RTRWP Bali dengan dasar UU Cipta Kerja, setelah tim dari KEKAL, FRONTIER dan WALHI mempelajari UU Cipta Kerja, tidak ada ketentuan yang mengatur percepatan tersebut. Sehingga perubahan PERDA, dalam hal ini PERDA RTRWP Bali harus mengacu pada ketentuan UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. “Dimana dalam proses perubahan PERDA harus memenuhi asas keterbukaan, ada hearing dan partisipasi publik. Tidak ada ketentuan yang mengatur sampai dipercepat 10 hari,” tegas Gendo.
Selanjutnya, Ketua komisi III DPRD Bali A.A Adhi Ardhana yang hadir dalam dialog tersebut, menyampaikan bahwa apa yang dilakukan oleh DPRD Bali dalam membentuk Pansus pembahasan RTRW merupakan proses harmonisasi atau pengintegrasian antara RTRW Bali dan RZWP3K. “Hal ini dilakukan atas dasar mandate Undang-undang Cipta Kerja,” ucapnya.
Atas penyampaian dari DPRD Bali A.A Adhi Ardhana, Pembina KEKAL Bali menanyakan dasar hukum apa yang digunakan oleh DPRD Bali untuk melakukan harmonisasi atau pengintegrasian. Karena khusus untuk terminal LNG, pada RANPERDA RTRWP Bali memasukkan Terminal LNG di Sidakarya, yang diatur dalam Pasal 26 ayat (3) huruf f yangmana peraturan tersebut merupakan materi baru, karena PERDA RTRWP Bali revisi terakhir yang berlaku saat ini mengatur lokasi Terminal LNG adalah di Pelabuhan Benoa. Atas hal tersebut, Gendo langsung membantah argumentasi DPRD Bali A.A Adhi Ardhana dan Gendo dengan tegas menyatakan bahwa Perubahan yang dilakukan DPRD Bali terhadap PERDA RTRWP Bali murni revisi “ini (Perubahan RANPERDA RTRWP Bali) revisi karena memasukkan muatan baru Terminal LNG Sidakarya,” tegas Gendo.
Lebih lanjut, Gendo juga menjelaskan terhdap Revisi PERDA RTRWP Bali, dalam UU 26/2007 tentang Penataan Ruang menyatakan bahwa peninjauan kembali dan revisi rencana tata ruang wilayah provinsi dilakukan bukan untuk pemutihan penyimpangan pemanfaatan ruang. Artinya revisi tata ruang tidak boleh dilakukan untuk mengakomodir izin suatu proyek. ”Itu (Perubahan RANPERDA RTRWP Bali untuk mengakomodir izin suatu proyek) tidak boleh, saya siap berdebat,” kata Gendo.
Lebih jauh, Gendo juga menjelaskan bahwa rencana pembangunan terminal LNG Sidakarya ini berawal dari memory of understanding (MOU) antara Gubernur Bali dengan PLN pada 21 Agustus 2019. Selanjutnya dalam MOU tersebut kewajiban Gubernur adalah menyediakan lahan untuk Terminal LNG dan menunjuk Perusahaan Daerah (PERUSDA) untuk membuat perusahaan untuk mengurus Terminal LNG. Setelah Gubernur Bali menunjuk PERUSDA dibentuk PT Dewata Energi Bersih (PT DEB) untuk melakukan joint feasibility study dengan Indonesia Power pada tahun 2021. Di tahun 2021 juga UPTD KPHK Tahura Ngurah Rai juga mengubah area proyek Terminal LNG yang awalnya blok perlindungan menjadi blok khusus dan DPRD Bali ingin mengubah PERDA RTRWP Bali untuk mengakomodir Terminal LNG, karena pada 21 April 2021 Gubernur Bali sudah menerbitkan izin prinsip. “Kok duluan izinnya yang keluar sedangkan tata ruang untuk Terminal LNG di Mangrove tidak ada? Izin prinsip Gubernur sudah melanggar tata ruang Propinsi Bali,” ujarnya penuh tanya.