DENPASAR, MENITINI.COM – Belum lama ini, Jakarta kembali mendapat rapor merah akibat buruknya kualitas udara. Selain sebagai pusat industri, tingginya mobilisasi dan kurangnya lahan terbuka hijau berkontribusi terhadap tingginya angka cemaran ibukota. Bahan polutan yang terbesar adalah nitrogen. Nitrogen dioksida (NO2) adalah gas polutan terkait lalu lintas yang dilepaskan saat ada pembakaran dari bahan bakar fosil. Paparan jangka panjang terhadap NO2 menyebabkan banyak masalah kesehatan dan terkait dengan risiko lebih tinggi dari semua penyebab, terutama kematian terkait kardiovaskular dan pernapasan. Tidak terkecuali COVID-19.
Sebuah studi berdasar dengan data perawatan kesehatan dari 4.443 kasus fatal COVID-19 pada tahun 2020 menemukan bahwa paparan jangka panjang terhadap nitrogen dioksida tingkat tinggi berkorelasi dengan peningkatan risiko kematian akibat COVID-19. Baru-baru ini, para peneliti menyelidiki efek paparan NO2 jangka panjang dan kebutuhan perawatan ICU dan ventilasi mekanis untuk COVID-19. Mereka menemukan bahwa paparan NO2 jangka panjang berkorelasi kuat dengan peningkatan kebutuhan perawatan ICU dan ventilasi mekanis.
Polusi udara dan COVID-19
Meski belum ada penelitian di Indonesia sendiri, mari kita simak beberapa penelitian eksternal. Para peneliti mengumpulkan data polusi udara dari 2010 hingga 2019 untuk 392 dari 402 kabupaten di Jerman untuk penelitian. Mereka menggunakan data ini untuk menghitung tingkat rata-rata tahunan jangka panjang NO2, mulai dari 4,6 g/m³ hingga 32 g/m³. Mereka juga mengumpulkan data tentang jumlah tempat tidur ICU terpakai dan kebutuhan ventilasi mekanis dari pendaftaran Asosiasi Interdisipliner Jerman untuk Perawatan Intensif dan Pengobatan Darurat dari 16 April 2020 hingga 16 Mei 2020, ketika pejabat pemerintah mencabut pembatasan sosial terkait COVID.
Selanjutnya, mereka menganalisis data dan menyesuaikan temuan mereka untuk faktor demografis seperti kepadatan penduduk, distribusi usia dan jenis kelamin, faktor sosial ekonomi, dan parameter kesehatan. Parameter yang terlibat antar lain kondisi kesehatan yang sudah ada sebelumnya yang kemungkinan besar dapat berpengaruh pada keparahan COVID. Secara keseluruhan, mereka mencatat bahwa ada 169.840 kasus COVID-19 di Jerman hingga 16 Mei 2020, dan 8.433 kematian terkait COVID. Analisis data mereka menemukan bahwa peningkatan 1 g/m3 NO2 dalam udara terkait dengan kebutuhan 3,2% lebih tinggi untuk perawatan ICU dan kebutuhan ventilasi mekanis 3,5% lebih tinggi. Bisa bayangkan sendiri terkait angka saja pasti Jakarta bisa lebih besar akumulasinya.
Pengaruh polutan pada paru-paru
Penjelasan dari asisten profesor Divisi Alergi dan Penyakit Menular University of Washington adalah paparan nitrogen dioksida dikaitkan dengan segudang efek pada paru-paru, terutama cedera, penurunan fungsi, dan peradangan. Kemungkinan besar, paparan kronis nitrogen dioksida menyebabkan penurunan fungsi paru-paru atau respons imun paru-paru lokal yang abnormal terhadap virus SARS-CoV-2. Hal serupa juga dikatakan oleh salah seorang ahli paru yang terlibat dalam penelitian bahwa polutan dapat meningkatkan keadaan proinflamasi yang dapat memiliki efek aditif pada peradangan yang dipicu oleh COVID-19.
Lebih detil, seorang profesor di Departemen Anestesiologi & Perawatan Intensif, Charité – Universitätsmedizin Berlin, Jerman, menjelaskan efek aditif ini. Menurutnya, sebuah protein ACE-2 membantu menghentikan peradangan, tetapi paparan polutan udara memicu peradangan kembali. Ketika virus SARS-CoV-2 mengikat ACE-2, terjadi efek aditif sehingga peradangan yang lebih lanjut, dan perjalanan COVID-19 menjadi lebih parah.
Para peneliti menyimpulkan bahwa risiko individu untuk morbiditas COVID-19 dipengaruhi oleh paparan jangka panjang terhadap NO2. Sayangnya, karena keterbatasan penelitian, simpulan studi ini tidak bisa menjadi simpulan sebab akibat absolut. Ada banyak variabel lain yang dapat dikaitkan dengan lingkungan yang NO2 dalam udaranya meningkat, termasuk perbedaan dalam praktik medis. Masih terdapat kemungkinan bahwa NO2 mungkin juga berfungsi sebagai perantara bagi emisi yang belum teranalisis lebih dalam seperti jelaga, jejak logam, dan partikel ultrafine. Harapannya, hasil penelitian ini dapat berpengaruh pada kesehatan lingkungan. Ketika banyak penelitian lebih berfokus pada pengobatan, penting sekali untuk mempertimbangkan faktor polusi terhadap kesehatan. Pengurangan emisi dan transisi penggunaan energi amat penting untuk memperbaiki kualitas udara dan menurunkan polutan yang terserap oleh tubuh. (M-010)