Rabu, 4 Desember, 2024

Hujan di Musim Kemarau, BMKG: Bukan Anomali Iklim

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati (kiri) saat konferensi pers). (Foto: Istimewa)

JAKARTA,MENTINI.COM-Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati menegaskan fenomena hujan deras di musim kemarau yang terjadi belakangan ini bukanlah anomali iklim.

Menurutnya, kondisi tersebut adalah sesuatu yang normal dan wajar terjadi di Indonesia, mengingat letak geografis Indonesia yang berada diantara dua benua yaitu Australia dan Asia dan dua samudra yaitu Pasifik dan Hindia.

“Letak geografis ini menjadikan Indonesia memiliki dua musim yang berbeda, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Angin monsun barat dari Benua Asia membuat Indonesia mengalami musim hujan. Sementara secara umum, musim kemarau di Indonesia berkaitan dengan aktifnya angin monsun timur dari Australia yang bersifat kering,” ungkap Dwikorita dalam Konferensi Pers secara daring di Jakarta, Senin (8/7/2024).

BACA JUGA:  'Green Election' di Jembrana, Tanam Ratusan Pohon di Kawasan Mertasari 

Bupati Giri Prasta Tanam 1000 Pohon Pala di Alas Pala Sangeh

Gerakan Wisata Bersih Kemenpar, Edukasi Pengelolaan Sampah Efektif di Destinasi Pariwisata Menuju Desa Adat Bersih dan Sehat

Aturan Global dan Kerja Sama Multi Pihak, Kunci Mengatasi Polusi Plastik

Direktur BWC: Sampah Terpilah lebih Mudah Diolah dan Miliki Nilai Ekonomi, Lingkungan dan Sosial

Dwikorita menjelaskan, meski berstatus musim kemarau, namun bukan berarti tidak turun hujan sama sekali. Melainkan curah hujan di suatu tempat kurang dari 50 mm/dasarian dan terjadi minimal tiga dasarian berturut-turut. Musim kemarau sendiri, tidak terjadi secara bersamaan di Indonesia dan berlangsung dengan durasi yang berbeda antar wilayah.

Berdasarkan pemantauan yang dilakukan BMKG, hingga akhir Juni 2024 menunjukkan bahwa sebanyak 43% Zona Musim di Indonesia sedang mengalami musim kemarau. Adapun puncak musim kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia akan terjadi pada bulan Juli dan Agustus 2024, mencakup 77,27% wilayah zona musim.

Kodam IX/Udayana Terjunkan 200 Prajurit, Bantu Korban Erupsi Gunung Lewotobi 

Real Count KPU RI: Koster-Giri Unggul Sementara

Dapat Ucapan Selamat dari De Gadjah, Begini Respon Koster

De Gadjah Beri Selamat kepada Koster-Giri

Meskipun musim kemarau sedang terjadi di sebagian wilayah Indonesia, kata dia, namun tidak selalu menunjukkan kondisi iklim yang kering dan panas, karena keragaman iklim di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi musim. Diterangkan Dwikorita bahwa banyak faktor lain yang mempengaruhi keragaman iklim di Indonesia yaitu faktor global misalnya fenomena El Nino/La Nina, faktor regional misalnya Madden Julian Oscillation dan menghangatnya suhu permukaan laut di sekitar Indonesia, dan faktor lokal misalnya adanya angin darat-angin laut.

"Sebuah kejadian cuaca, umumnya merupakan hasil interaksi dari berbagai faktor tersebut," imbuhnya.

Mengenai fenomena hujan lebat dalam beberapa hari terakhir di beberapa wilayah Indonesia seperti Banten, Jawa Barat, Jakarta, dan Maluku, lanjut Dwikorita, hal itu disebabkan oleh dinamika atmosfer skala regional yang cukup signifikan. Di antaranya, termonitornya aktivitas fenomena Madden Julian Oscillation (MJO), Gelombang Rossby Ekuatorial, dan Gelombang Kelvin.

MJO adalah aktivitas dinamika atmosfer yang terjadi di wilayah tropis, di mana terdapat pergerakan sistem awan hujan yang bergerak di sepanjang khatulistiwa, dari Samudra Hindia sebelah timur Afrika ke Samudra Pasifik dan melewati wilayah Benua Maritim Indonesia. Fenomena ini, tambah dia, sifatnya temporal dan akan terulang setiap 30 hingga 60 hari di sepanjang wilayah Khatulistiwa.

Ini 10 Koperasi Terbaik dengan Predikat Sehat di Kabupaten Badung

Pedagang Mengeluh Sepi, Desa Adat Segera “Sulap” Lantai Tiga Pasar Seni Kuta Jadi Daya Tarik Wisata, Kenapa?  

Musim Hujan Tiba, Ini Titik Langganan Banjir di Kuta Selatan Yang Perlu Diantisipasi

Presiden Prabowo Tinjau Kawasan BLUPPB Karawang, Dorong Swasembada Pangan dan Ekonomi Biru

MJO sendiri, lanjut Dwikorita, memiliki perbedaan dalam skala ruang dan waktu dengan musim kemarau. Jika musim kemarau terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia dan berlangsung selama berbulan-bulan, maka MJO hanya terjadi di wilayah yang dilewatinya dan hanya berlangsung dalam hitungan beberapa hari hingga beberapa minggu. Fenomena MJO ini bisa mempengaruhi pola cuaca dengan meningkatkan kemungkinan adanya periode hujan yang lebih intens, sekalipun itu di musim kemarau.

"Dalam beberapa hari terakhir, terjadi fenomena cuaca MJO yang aktif di sekitar wilayah Samudra Hindia dan mempengaruhi pembentukan awan hujan terutama di wilayah Indonesia bagian barat. Pada periode tanggal 3 - 6 Juli 2024, gelombang atmosfer MJO, Rossby Equatorial, dan Kelvin aktif di Indonesia bagian tengah dan selatan," jelasnya. Fenomena MJO ini telah terdeteksi sejak 28 Juni, sehingga sejak tanggal tersebut BMKG telah mengeluarkan Peringatan Dini potensi hujan lebat.

"Nah, daerah-daerah seperti Sumatra bagian selatan, Jawa (termasuk Jabodetabek), Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua bagian selatan mengalami kondisi atmosfer yang mendukung pembentukan awan hujan, sehingga curah hujan meningkat di wilayah-wilayah tersebut," tambah dia.

Lebih lanjut Dwikorita mengatakan, selain dipengaruhi iklim dan dinamika atmosfer, tipe hujan di Indonesia juga dipengaruhi oleh kondisi topografi. Kondisi topografi wilayah Indonesia yang merupakan daerah pegunungan, berlembah, banyak pantai, merupakan faktor lokal yang dapat menambah beragamnya kondisi iklim di wilayah Indonesia.

"Keragaman iklim inilah yang menyebabkan wilayah Indonesia terbagi menjadi banyak zona musim, yaitu monsunal, ekuatorial, dan lokal di mana masing-masing tipe zona memiliki periode waktu terjadinya musim hujan dan musim kemarau yang berbeda," paparnya.

Sementara itu, Deputi Bidang Meteorologi, Guswanto mengatakan bahwa berdasarkan analisis cuaca terbaru dan pengamatan perkembangan kondisi cuaca dalam sepekan ke depan, masih terdapat potensi peningkatan curah hujan yang signifikan di wilayah Indonesia, meskipun telah memasuki awal musim kemarau.

130 Korban Tewas akibat Bentrokan Warga Muslim di Pakistan

DPR Australia Setujui RUU Larangan Anak Bermain Medsos

Australia Bakal Melarang Anak Menggunakan Medsos, Ini Alasannya

PM Kanada Justin Trudeau Ke Presiden Prabowo di Sela APEC: Kepemimpinan Anda Luar Biasa

Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan curah hujan ini meliputi aktivitas fenomena cuaca MJO, Gelombang Kelvin, dan Rossby Equatorial yang terdeteksi di sebagian wilayah Jawa, sebagian besar wilayah Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Papua. Selain itu, suhu permukaan laut yang hangat di perairan sekitar Indonesia turut berkontribusi dalam menciptakan kondisi yang mendukung pertumbuhan awan hujan signifikan di wilayah tersebut.

Secara umum, lanjut Guswanto, kombinasi pengaruh fenomena cuaca tersebut diperkirakan masih menimbulkan potensi hujan dengan intensitas SEDANG hingga LEBAT yang disertai kilat/petir dan angin kencang di sebagian wilayah Indonesia. Pada tanggal 8 - 10 Juli 2024, hujan ini diperkirakan terjadi di sebagian besar wilayah Sumatra, Jawa bagian barat, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Maluku Utara, dan Papua. Sementara itu, pada tanggal 11 - 14 Juli 2024, potensi hujan sedang-lebat diperkirakan terjadi di wilayah Sumatra bagian utara, sebagian besar Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Maluku Utara, dan Papua.

"Meski beberapa wilayah di Indonesia telah memasuki musim kemarau, kami mengimbau masyarakat untuk selalu waspada dan melakukan antisipasi dini terhadap potensi cuaca ekstrem yang masih bisa terjadi di beberapa wilayah. Cuaca ekstrem tersebut meliputi hujan lebat dalam durasi singkat yang dapat disertai kilat/petir dan angin kencang, angin puting beliung, serta fenomena hujan es," pungkasnya. (*)

  • Editor: Daton