Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif
Jaksa Agung menyampaikan Peraturan Kejaksaan RI terkait keadilan restoratif sebagai salah satu bentuk diskresi penuntutan oleh penuntut umum. Ketentuan ini diharapkan dapat digunakan Jaksa untuk melihat dan menyeimbangkan antara aturan yang berlaku dengan asas kemanfaatan yang hendak dicapai.
Pemberlakuan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif sangatlah selektif, dengan syarat antara lain:
tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;
tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan
tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Selain itu, dalam penghentian penuntutan ini terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu kepentingan korban, penghindaran stigma negatif bagi pelaku, respon masyarakat dan kepatutan, serta ketertiban umum.
“Sampai saat ini, Kejaksaan telah melaksanakan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif terhadap 1.334 (seribu tiga ratus tiga puluh empat) perkara tindak pidana umum dari total 1.454 (seribu empat ratus lima puluh empat) permohonan,” ujar Jaksa Agung.
Selanjutnya, Jaksa Agung menyampaikan sebagai bentuk pelibatan unsur masyarakat dalam setiap upaya perdamaian dengan pendekatan keadilan restoratif dengan melibatkan pihak korban, Tersangka, tokoh atau perwakilan masyarakat, dan pihak lain maka dibentuklah wadah Rumah Restorative Justice atau Rumah RJ.
“Rumah RJ akan berfungsi sebagai wadah untuk menyerap nilai-nilai kearifan lokal serta menghidupkan kembali peran serta tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat untuk bersama-sama dengan Jaksa dalam proses penyelesaian perkara yang berorientasikan pada perwujudan keadilan subtantif,” ujar Jaksa Agung.
Pedoman Kejaksaan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana
Jaksa Agung mengatakan pedoman ini memiliki tujuan untuk menjadi panduan bagi Jaksa dalam menangani perkara pidana yang melibatkan perempuan dan anak, sekaligus mengoptimalisasi pemenuhan akses keadilan bagi perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum dalam penanganan perkara pidana.
“Pedoman ini juga merupakan terobosan Kejaksaan dalam menjawab persoalan hukum atas teknis pelaksanaan beberapa peraturan perundang-undangan yang ada seperti hambatan prosedur pembuktian kasus, kerancuan dalam menentukan posisi korban dan pelaku, hambatan koordinasi dengan pihak lain terkait dan hambatan SDM Jaksa atau Penuntut Umum yang belum memiliki perspektif gender dan anak,” ujar Jaksa Agung.
Jaksa Agung berharap hasil dari kegiatan diskusi bersama ini dapat memberikan sumbangsih dalam rangka pengembangan sistem hukum dengan pendekatan keadilan restoratif di Indonesia.
Pernyataan diatas disampaikan oleh Jaksa Agung Burhanuddin sebagai keynote speaker dalam Webinar Diskusi Bersama Praktisi “Restorative Justice, Apakah Solutif?” pada Sabtu 16 Juli 2022 yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia. (RLS/K.3.3.1)