JAKARTA,MENITINI.COM-Sampah yang mengandung bahan beracun berbahaya (B3) dan sampah yang mengandung limbah B3 memerlukan perlakuan khusus dalam penanganannya. Sampah spesifik tersebut baik secara langsung atau tidak langsung dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, kesehatan serta kelangsungan hidup manusia dan makluk hidup lainnya.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mensosialisasikan pengelolaan sampah spesifik di lingkup Ekoregion Sumatera (10/8) dengan tujuan agar sampah tidak membebani Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) hingga menghadirkan manfaat ekonomi sirkular sebagai bahan baku daur ulang.
Direktur Penanganan Sampah, Novrizal Tahar menyampaikan, pengelolaan sampah spesifik dilakukan melalui pengurangan dan/atau penanganan, baik berupa pembatasan timbulan, daur ulang, pemanfaatan kembali, pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan maupun pemrosesan akhir. Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota memegang kewenangan untuk melakukan upaya pengelolaan sampah tersebut.
Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik ditetapkan sebagai amanah Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang nomor 18 tahun 2009 tentang Pengelolaan Sampah. Pengelolaan Sampah Spesifik yang diatur dalam PP 27/2020 tersebut meliputi sampah yang mengandung B3, sampah yang mengandung limbah B3, sampah yang timbul akibat bencana, puing bongkaran bangunan, sampah yang secara teknologi belum dapat diolah, serta sampah yang timbul secara tidak periodik.
Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan tahun 2022, rata-rata timbulan sampah yang mengandung B3 dan sampah yang mengandung B3 untuk kota besar sebesar 0,0320 kg/org/hari, kota metropolitan 0.0371 kg/org/hari, kota sedang 0.0515 kg/org/hari dan kota kecil 0,0269 kg/org/hari. Hasil studi KLHK bahwa jumlah timbulan sampah B3 dan/atau sampah limbah B3 di Indonesia tahun 2021 sebesar 10.450,55 ton/tahun dan diproyeksikan akan meningkat pada tahun 2030 menjadi 12.187,84 ton.
Novrizal menyampaikan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah mempunyai kewajiban untuk mencari solusi dalam menghadapi persoalan tersebut, agar sampah yang mengandung B3 dan mengandung limbah B3 dapat terkelola dengan baik. Pemerintah Daerah harus menyiapkan strategi, program dan kegiatan terobosan dan ide cemerlang untuk meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat dan semua pihak, termasuk internal pemerintah daerah, dalam pengelolaan sampah yang mengandung B3 dan limbah B3.
Novrizal menambahkan bahwa PP 27/2020 juga mengamanatkan pengelolaan sampah yang timbul akibat bencana. Hal ini menjadi sangat penting karena Indonesia merupakan negara yang rawan terjadi bencana alam. Pada periode 1 Januari sampai dengan 13 Juni 2023 tercatat 1.746 kejadian bencana alam yang terjadi, yang meliputi gempa bumi, erupsi gunung api, banjir, cuaca ekstrim, tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan, gelombang pasang abrasi dan kekeringan. Dampak dari kerusakan akibat bencana alam tersebut mengakibatkan rumah rusak berat ± 2.537, rusak sedang ± 2.720, dan rusak ringan ± 14.509. Selain rumah rusak terdapat kerusakan pada 58 fasilitas perkantoran, 214 fasilitas pendidikan, 202 fasilitas peribadatan, 37 fasilitas kesehatan serta 117 jembatan.
“Kerusakan infrastruktur yang diakibatkan oleh bencana alam tentunya akan menimbulkan sampah dan harus segera ditangani. Timbulan sampah dari lokasi pengungsian jika tidak segera ditangani akan menimbulkan dampak lanjutan yaitu bisa memicu datangnya berbagai bakteri, virus dan parasit yang masing-masing dapat membawa penyakit,” ungkap Novrizal.