Jumat, 22 November, 2024

Koalisi IBUKOTA Gelar Aksi Ingatkan Pemerintah akan Hak Udara Bersih Warga

Masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi IBUKOTA gelar aksi di depan Balai Kota DKI Jakarta, ingatkan pemerintah provinsi akan hak udara bersih warga yang belum terpenuhi.
Masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi IBUKOTA gelar aksi di depan Balai Kota DKI Jakarta, ingatkan pemerintah provinsi akan hak udara bersih warga yang belum terpenuhi. (foto: ist)

JAKARTA,MENITINI.COM-Memperingati satu tahun kemenangan gugatan warga negara atas hak udara bersih yang jatuh pada Jumat (16/09/2022), Koalisi IBUKOTA melakukan perayaan berbentuk aksi di depan Balai Kota DKI Jakarta.

Aksi ini dilakukan untuk mengingatkan Gubernur DKI Jakarta – yang memilih tidak banding terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat setahun lalu- agar segera menjalankan kewajibannya.

Dalam keterangan tertulisnya yang diterima Jumat (16/9/2022), Greenpeace Southeast Asia, Indonesia mengatakan genap 365 hari pasca-kemenangan gugatan warga negara alias citizen lawsuit (CLS), polusi udara masih jadi masalah serius bagi warga DKI Jakarta. Bahkan, bisa dikatakan, kemenangan warga yang seharusnya mendapatkan hadiah berupa udara bersih juga belum terpenuhi. Sejauh ini, belum ada perubahan kebijakan yang mendorong terciptanya udara bersih. Sebaliknya, kualitas udara di ibukota malah makin buruk.

Data dari Nafas Indonesia dalam satu tahun terakhir (14 September 2021-14 September 2022) menunjukkan bahwa hanya ada satu bulan yakni Desember 2021 di mana kualitas udara di DKI Jakarta mengalami perbaikan. Pada bulan tersebut, nilai PM2.5 menurun karena musim hujan. Namun, memasuki musim kemarau (Juni-Juli 2022), nilai PM2.5 kembali melonjak.

Dari lima wilayah yang telah didata yakni Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Utara, tak ada satu pun yang menunjukkan nilai rata-rata tahunan PM2.5 sesuai rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) yakni 5 µg/m³ per tahun. Sebaliknya, kelima wilayah DKI Jakarta tersebut melampaui rekomendasi WHO hingga 7,2 kali lipat.

Rata-rata tahunan PM2.5 untuk Jakarta Pusat dan Jakarta Utara berada di kategori moderate, sedangkan tiga wilayah lain berada di kategori tidak sehat untuk kelompok sensitif. Paling tinggi adalah wilayah Jakarta Timur dengan rata-rata tahunan PM2.5 mencapai 44 µg/m³ atau melampaui rekomendasi WHO sampai 8,8 kali lipat.

Hal serupa juga ditemui pada beberapa kota atau wilayah penyangga DKI Jakarta yakni Bogor, Depok, Tangerang, Tangerang Selatan, dan Bekasi. Fakta ini tentu menjadi bukti nyata bahwa pemerintah, baik pusat maupun daerah, tidak serius menangani isu polusi udara sekaligus lalai dalam menjaga keselamatan warganya.

Padahal, semakin banyak penelitian yang menemukan fakta bahwa polusi udara terbukti memberi dampak buruk pada kesehatan fisik dan mental manusia, serta bisa memangkas angka harapan hidup manusia di seluruh dunia hingga 2,2 tahun. Kunci perubahan tetap berada di tangan pemerintah pusat, terutama sekarang, saat pemerintah daerah sudah memasuki status demisioner.

Pengkampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, berharap Gubernur DKI Jakarta bisa menjadi contoh positif bagi para tergugat lain yang memilih banding yakni Presiden, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, serta turut tergugat yakni Gubernur Banten dan Gubernur Jawa Barat.

“Gubernur DKI Jakarta memang tidak banding, tetapi dia juga belum maksimal dalam menjalankan kewajibannya melindungi warga terkait hak mendapatkan udara bersih. Seharusnya, saat Gubernur DKI Jakarta tidak banding, dia bisa menjalankan putusan pengadilan yang di antaranya adalah mengendalikan sumber polutan dari benda bergerak dan tidak bergerak, melakukan transparansi terhadap rencana pengendalian polusi udara, dan melibatkan partisipasi publik, dengan sebaik-baiknya,” tutur Bondan Andriyanu, Pengkampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia di depan Balai Kota DKI Jakarta.

Gugatan warga negara terhadap polusi udara di DKI Jakarta dimulai pada 5 Desember 2018 dengan melakukan penyerahan notifikasi. Selanjutnya, warga negara yang tergabung dalam Koalisi IBUKOTA menyerahkan gugatan ke PN Jakpus pada 4 Juli 2019.

Selama rentang bulan Agustus-September 2019, ada empat sidang pendahuluan yang digelar. Lalu, pada 17 Oktober 2019, putusan sela terhadap penggugat dijatuhkan dalam bentuk intervensi mediasi. Putusan sela ini kemudian dimanfaatkan Koalisi IBUKOTA dengan menjalani mediasi bersama pihak tergugat sebanyak lima kali, termasuk dua pertemuan mediasi di luar persidangan dengan Pemprov DKI Jakarta, dalam rentang bulan Oktober-Desember 2019.

Pada 19 Desember 2019, Sidang Pembacaan Gugatan digelar. Namun, persidangan berjalan sangat berliku karena sidang putusan gugatan sempat ditunda sebanyak delapan kali sejak tahun 2019 hingga 2021. Baru pada 16 September 2021, hakim memenangkan gugatan Koalisi IBUKOTA dan memutus bersalah kepada para tergugat yakni Presiden, Menteri LHK, Menkes, dan Mendagri, termasuk turut tergugat yakni Gubernur DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.

Namun, alih-alih menjalankan putusan hakim PN Jakpus, para tergugat memilih mengajukan banding pada 30 September 2021. Aksi banding ini kemudian dilawan Koalisi IBUKOTA, yang diwakili Tim Advokasi dari LBH Jakarta, dengan mendaftarkan kontra memori banding ke PN Jakpus pada 17 Januari 2022.

Polusi udara merupakan salah satu persoalan lingkungan terbesar yang bisa menimbulkan risiko terhadap kesehatan. Pemerintah harus tegas untuk menghentikan sumber-sumber pencemar udara, dan memastikan terpenuhinya hak warga negara untuk mendapatkan udara yang bersih dan sehat. Terlebih Majelis Umum PBB telah mengesahkan resolusi hak atas lingkungan hidup yang bersih, aman dan berkelanjutan merupakan hak asasi manusia.

Memasuki tahun politik pada 2024, Koalisi IBUKOTA mendesak agar isu kualitas udara menjadi agenda elektoral, terutama dalam pemilihan kepala daerah berikutnya. (rl/M-011)