Ketiga, Kepastian Hukum Dalam Bingkai Hati Nurani bahwa hal ini beranjak dari pandangan Hans Kelsen, seorang filsuf positivisme yang mengatakan jika “hukum adalah sistem norma yang menekankan aspek ‘seharusnya’ dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan.” Hati Nurani yang melandasi tujuan kepastian hukum ini adalah ketika individu telah secara pasti melanggar peraturan dan negara memiliki kewenangan untuk menghukumnya, namun negara melalui Jaksa menggunakan kewenangannya untuk tidak menghukumnya melalui diskresi penuntutan (prosecutorial discretion). Kewenangan Jaksa untuk tidak melakukan penuntutan ini bukan tanpa dasar hukum, melainkan berdasarkan pada kepastian hukum, yang secara legitimasi undang-undang telah memberikan kewenangan untuk itu.
Penerapan keadilan restoratif adalah sebuah kebutuhan hukum masyarakat secara global, namun hal yang kiranya perlu kita cermati bersama adalah menjadi kewenangan siapa penerapan keadilan restoratif dilakukan dalam setiap sistem hukum. Hal ini menjadi penting untuk menyeragamkan tata laksana dan menghindari tumpang tindih kewenangan berdasarkan asas-asas hukum. Dalam proses penegakan hukum terdapat asas-asas hukum yang berlaku dan diakui secara universal yang salah satunya adalah asas Dominus Litis. Asas Dominus Litis telah menempatkan jaksa sebagai satu-satunya pihak yang mengendalikan dan mengarahkan perkara. Oleh karena itu, arah hukum dari suatu proses sejak tahap penyidikan akan dinilai oleh Jaksa apakah dapat atau tidaknya dilakukan penuntutan, penilaian Jaksa tersebut tidak hanya dalam aspek kelengkapan formil dan materil semata, melainkan juga aspek kemanfaatan yang akan didapat. Aspek kemanfaatan ini menjadi penting dalam mewujudkan keadilan restoratif karena disanalah terdapat kewenangan diskresi penuntutan, inilah bentuk kewenangan Jaksa yang tidak dimiliki oleh penegak hukum lainnya.
Hakim tidak memiliki kewenangan untuk menolak perkara, demikian juga penyidik tidak memiliki diskresi dalam menghentikan penyidikan kecuali karena alasan yang memang diatur menurut hukum acara, kewenangan ini menempatkan jaksa sebagai penjaga gerbang hukum yang menentukan apakah suatu perkara layak atau tidak layak untuk disidangkan, ketika suatu perkara dihentikan penuntutannya atau dilanjutkan ke pengadilan diharapkan memiliki dampak yang dapat menghadirkan keadilan secara lebih tepat yaitu memberikan kepastian, keadilan dan kemanfaatan kepada seluruh pihak.
Penerapan keadilan restoratif telah dilakukan institusi Kejaksaan Republik Indonesia dengan mengeluarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif pada 22 Juli 2020. Peraturan Kejaksaan tentang Keadilan Restoratif lahir untuk memecahkan kebuntuan atau kekosongan hukum materil dan hukum formil yang belum mengatur penyelesaian perkara menggunakan pendekatan keadilan restoratif. Semenjak dikeluarkannya Peraturan Kejaksaan tentang keadilan restoratif sampai tanggal 3 Mei 2023, Kejaksaan RI telah menghentikan sedikitnya 2654 perkara dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif.
Berita Terkait
- Rilis E-Book Hukum, Bali Best Ajak Masyarakat Sadar Hukum
- Jaksa Agung Beri Apresiasi Kepada Kejati DKI Jakarta dan Kejari Pekalongan
- TEGAS! Jaksa Agung Minta Tindak Insan Adhyaksa yang Lakukan Perbuatan Tercela
- Silaturrahmi dengan Eka Tjipta Foundation, Burhanuddin: Penegakan Hukum untuk Wujudkan Kepastian Dun...