Jumat, 22 November, 2024

Menanti Kapolri Baru dan Gebrakan Idham Aziz

Agustinus Apollo Daton

Lagi sebulan 15 hari, (Januari 2021) Jendral Pol Idham Aziz pensiun. Tongkat komando Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) beralih. Sejumlah kandidat pengganti sudah muncul di publik; entah di media massa, (cetak dan elektronik), media sosial, bahkan juga jadi diskusi menarik berbagai kalangan.

Terlepas dari siapa sosok pengganti Idham Aziz, nama nama Kapolri yang akan datang  sudah ada di kantong Presiden Joko Widodo. Mekanismenya, setelah difit and proper test Komisi III DPR RI, Presiden Jokowi akan memilih salah satu dari kandidat tersebut.

Dengan gebrakan yang dilakukan Idham Aziz selama jadi Kapolri, termasuk yang teranyar mencopot dua Kapolda; Metro Jaya dan Jawa Barat,  memutasi sejumlah Kapolda dan jajaran bisa jadi Presiden Jokowi memperpanjang jabatan Idham Aziz. Mantan Kabareskrim ini juga menaikan pangkat sejumlah perwira tinggi; Kombes-Brigjen-Irjen.  

Diatas segalanya, Kapolri mendatang mesti dikenal dan dikenang sebagai perwira Tribrata yang berwibawa, hangat dan menjadi kebanggaan masyarakat. Tegas, santun, berempati dan tak diremehkan bawahan.

Di era modern, tuntutan masyarakat terhadap kinerja Polri makin tinggi. Tidak hanya professional, modern dan terpercaya (promoter), tapi lebih dari itu, rendah hati dan membangun komunikasi egaliter dengan masyarakat, tanpa ada kekerasan dan represif.  Bila berhadapan dengan masyarakat polisi mesti memakai pendekatan humanis.

Hal ini seiring dengan dinamika masyarakat yang makin terbuka, kritis, dan egaliter, yang tak hanya menuntut kehadiran polisi di tengah masyarakat pada saat yang diperlukan, tapi juga mengharapkan profesionalitas Polri sebagai pemelihara kamtibmas, penegak hukum, pengayom dan pelayan masyarakat yang berintegritas, serta mampu menyelesaikan permasalahan masyarakat secara cermat dan tepat.

Kepercayaan masyarakat akan tumbuh dan terpelihara, manakala kinerja aparat polisi dalam keseharian yang sangat dekat dengan masyarakat. Apalagi penegakan hukum, faktanya hanya sebagian kecil dari total kerja polisi.

Kapolri yang akan datang hendaknya menjalankan pola tradisional yang merekatkan polisi dengan masyarakat, salah satunya menyambangi sejumlah rumah ibadah. Dengan pendekatan  rumah ibadah saat berkunjung di pelosok tanah air, di rumah Allah rakyat bisa menyaksikan langsung kesetaraan yang memang selayaknya hidup di antara polisi dan masyarakat.  Semakin dekat polisi dengan agama, semakin elok budi pekertinya. Semakin santun tindak tanduknya, mudah-mudahan semakin bersih  organisasi yang dipimpinnya.

Mencari kandidat Kapolri yang seperti ini bukan urusan mudah. Ibarat mencari manusia setengah dewa. Tapi, juga bukan mustahil. Karena kriteria dan sosok semacam ini ada di jajaran Perwira Tinggi Mabes Polri dan sejumlah Kapolda berprestasi di tanah air, yang tentunya punya rekam digital yang sudah teruji, dan terbukti.

Gebrakan Idham Aziz dalam beberapa hari ini telah menggetarkan publik di tanah air sekaligus menjawab keresahan publik khususnya keresahan kelompok moderat. Kapolri mencopot dan memutasi jajarannya yang terkesan “membiarkan” HRS merusak tatanan negara.

Tekanan demi tekanan masyarakat melalui media sosial sangat berarti. Negara tidak boleh kalah, tidak boleh tidak punya wibawa. Siapapun yang ingin merusak tatanan, harus diberi pelajaran. Biar tidak ada yang menganggap kesalahan jadi pembenaran. Suara rakyat, motivasi bagi negara, bahwa apapun yang terjadi, rakyat selalu dibelakang aparat. Bukan buat Jokowi, bukan buat Polri, bukan buat TNI.  Tapi untuk Indonesia.

Mengunci tulisan ini,  tampaknya kita perlu menyegarkan ingatan pernyataan mantan Kapolri era 1966-1971, Jenderal Hoegeng Iman Santoso “Siapapun yang berjiwa penjahat pasti memusuhi polisi”. Tapi sebaliknya, bila ada polisi yang menindas, menganiaya, dan berbuat sewenang-wenang dialah penjahat. **