DENPASAR, MENITINI.COM-Sebanyak 76,40% petani di Bali ternyata hanya merupakan petani penggarap lahan milik orang lain. Data ini diketahui dari hasil penelitian yang dilakukan akademisi Universitas Warmadewa Bali I Nengah Muliarta.
Saat dikonfirmasi kebenaran data ini, mantan Komisioner KPI Bali ini mengakui jika data tersebut diperoleh sejak tahun 2018 lalu dalam sebuah penelitian secara random di Kabupaten Klungkung Bali.
“Jadi tahun 2018 data memang seperti itu. Ada 76,40% petani di tiga kecamatan di Klungkung yakni Kecamatan Klungkung, Kecamatan Banjarankan dan Kecamatan Dawan merupakan petani penggarap. Ini jumlah yang besar sekali. Sisanya baru petani yang memiliki lahan sendiri. Ini data tahun 2018. Kita asumsikan bahwa semakin tahun semakin meningkat jumlah petani penggarap ini,” ujarnya di Denpasar, Senin (16/1/2023). Dari tiga kecamatan tersebut, sampel yang diambil hanya masing-masing dua kelompok subak dengan total petani sebanyak 887 orang.Â
Menurut alumni S3 Unud tersebut, sesungguhnya data ini tidak mengejutkan. Sebab tahun 2010 lalu, juga ada penelitian yang sama di Desa Medewi, Kecamatan Pekutatan Kabupaten Jembrana Bali yang dilakukan oleh Kusuma PGW, Suryadi M, dan Sudita I.N dari Universitas Udayana Bali. Di desa tersebut ternyata ada 62,07% adalah petani penggarap dan hanya 37,93% adalah petani pemilik lahan.
Sementara tahun sebelumnya di desa tersebut, jumlah petani penggarap baru mencapai 52,78%. Artinya ada kenaikan pertahun sekitar 10 persen. Dari dua data ilmiah ini bisa disimpulkan sementara bahwa jumlah petani penggarap di Bali meningkat terus setiap tahunnya.
“Coba cek saja kondisi ini di Kota Denpasar, Badung, Tabanan, Gianyar. Hampir dipastikan petani penggarap lebih tinggi karena kemajuan pariwisata di empat kabupaten ini sangat pesat. Syukurlah kalau yang menggarap itu warga Bali. Karena saat ini sudah banyak penggarap orang luar Bali,” ujarnya.Â
Meningkatnya jumlah petani penggarap ini salah satu faktornya adalah adanya alih fungsi lahan secara masif di Bali. Data terakhir menunjukkan, total alih fungsi lahan di Bali rata-rata antara 700-1000 hektar pertahun.
Lahan itu digunakan untuk berbagai macam pembangungan fasilitas pariwisata, pertokoan, perumahan dan sebagainya. Alih fungsi ini membuat para petani kehilangan lahan, kehilangan lapangan pekerjaan utama sekaligus menjadi penggarap lahan orang lain. Ancaman lain dari fenomena ini adalah terjadinya degradasi nilai budaya dalam bidang pertanian yang di Bali sudah menjadi satu kesatuan.
“Fungsi subak di Bali bukan hanya soal irigasi tradisional tetapi sudah mencakup social agriculture dan spiritual agriculture. Kalau semuanya jadi pengggarap maka rasa memiliki budaya pertanian lama kelamaan akan hilang atau pudar. Apalagi yang menggarap itu bukan warga Hindu Bali. Ini ancaman serius buat Bali, dengan kemasan pariwisata budayanya,” ujarnya. M-006