DENPASAR, MENITINI Pengangkutan limbah Bahan Berbahya Beracun (B3) medis dari rumah sakit, puskesmas dan klinik di Bali ke Jawa terganjal kendala sejak diberlakukan kebijakan menggunakan kapal khusus terpisah dengan penumpang reguler tanggal 1 September 2021.
Kebijakan itu muncul setelah dilakukan sosialisasi tata cara dan administrasi pengangkutan B3 pada Pelabuhan Penyebrangan di Quest Hotel San Denpasar, Senin 30 Agustus 2021.
Sosialisasi yang dilakukan Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD) Wilayah XII Bali dan Nusa Tenggara Barat Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan dengan nomor surat UM.027/7//5/BPTD-XII/2021 tertanggal 26 Agustus 2021.
Hal itu mengakibatkan para transporter limbah B3 mogok di Pelabuhan Gilumanuk, karena biaya yang dibebankan naik hampir 10 kali lipat dari harga normal. Namun setelah dilakukan negosiasi cukup alot akhirnya bisa nyebrang dengan tarif khusus.
Demikian disampaikan oleh narasumber yang tidak mau disebut namanya ketika dikonfirmasi awak media, mengingat masalahnya yang dihadapi dalam pengangkutan seperti “carter kapal sendiri”. Dintunjukkan foto kendaraan transporter limbah B3 berjejer di Pelabuhan Gilimanuk, bahkan ada yang terpaksa lewat dengan biaya yang melangit.
Para transporter mengeluhkan biaya yang harus ditanggung sangat besar dari sebelumnya. Bisa dibayangkan perusahaan kelimpungan dalam menangani sampah, belum lagi sampah B3 yang harus musnah dalam 2×24 jam dan diolah agar tidak menjadi belatung.
Kebijakan ini memprihatinkan di tengah pandemi, karena limbah yang diangkut kebanyakan limbah Covid-19. Dalam mengatasi masalah tersebut, para transporter mengirimkan surat ke instansi terkait, supaya tidak menjadi masalah baru akibat tumpukan limbah Pak Rumah Sakit Covid-19.
Limbah B3 tersebut diangkut ke Jawa, karena Bali belum memiliki pengolahannya secara mandiri. Bayangkan saja mereka mogok di pelabuhan atau tidak mengangkut sampah RS, apa kira-kira yang akan terjadi terhadap Bali, terlebih sebagai daerah wisata yang menjadi sorotan dunia dalam penanganan Covid -19 yang belum mampu menuju zona hijau.
Masalah itu pun mendapat tanggapan serius Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Bali Dr.dr.I.B.G. Fajar Manuaba, SpOG, MARS di Denpasar, Sabtu (4/9).
Dikatakan, masalah limbah medis sudah disampaikan namun belum tuntas sampai sekarang. kendalanya tata ruang Bali hanya bisa dilakukan di Grogak Buleleng dan Negara. “Begitu ada investor, justru kendalnya terbentur pada penolakan masyarakat,” kata Fajar Manuaba seperti dikutip Surat Kabar POS BALI Senin (6/9)
Kalau tertahan sampah medis bukan sesuatu yang baru. Sebelum Covid- 19 truk juga tidak bisa lewat saat arus mudik. Bisa seminggu tidak bisa lewat dari Gilimanuk menuju Bogor dan Jawa Timur.
Apalagi sekarang dengan adanya Covid-19 kapal pengangkutan pasti lebih hati-hati dengan sampah Covid-19. Jangankan sampah medis RS, sampah isoman dan isoter saja sudah dianggap limbah berbahaya dan sudah harus musnah dalam waktu 2 x 24 jam sesuai ketentuan lingkungan.
Pemecahannya harus konprehensif melalui pemda provinsi dengan melakukan koordinasi semua instansi. Yang tidak kalah pentingnya adalah meyakinkan masyarakat tentang keamanan pengelolaan sampah medis. Kalau investor tidak sulit. Investor dari Jepang dan Prancis saja sudah pernah ada menawarkan. poll