DENPASAR, MENITINI.COM– Ahli Virologi and Molecular Biologi Universitas Udayana, Profesor. Dr. Drh I Gusti Ngurah Kade Mahardika mengusulkan agar Bali segera lockdown. Alasannya, karena data resmi Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 Provinsi Bali yang menandakan Bali tidak sedang aman.
Hal ini berdasarkan penambahan 2.019 kasus positif dan 106 korban jiwa hanya dalam 13 hari akibat Covid-19. Untuk itulah, menyambut Galungan dan Kuningan, pakar virus ini, mengajak umat Hindu di Bali menunaikan persembahyangan pada Budha Kliwon Dungulan, Rabu, 16 September 2020 dan Kuningan di rumah saja.
Selain Galungan dan Kuningan, Prof. Mahardika juga mewaspadai meledaknya kluster Pilkada 2020 bisa jadi bom waktu. Mengacu pernyataan Ketua KPU RI Arief Budiman, 60 bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah di 21 dari 32 provinsi di Indonesia tertular virus korona alias Covid-19.
Ia menilai pemilihan wali kota dan wakil wali kota di 37 kota yang tersebar di 32 provinsi serta pemilihan bupati dan wakil bupati di 224 kabupaten menjadi ancaman tersendiri. Tidak tertutup kemungkinan ada kluster Pilkada. Termasuk dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur di sembilan provinsi, yakni Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tengah.
“Bila terjadi kerumunan ibaratnya sudah pasti risiko ada. Kalaupun tidak ada, jangan bertepuk dada. Bersyukurlah. Berkumpul di kerumunan namun tetap sehat, bersyukutlah. Jangan aji wera, jangan sombong. Intinya, seger gen tunas (sehat saja yang dimohon, red). Berpikirlah setelah sehat bisa berbuat banyak. Bila sakit tidak bisa berbuat apa. Silakan beraktivitas dengan protokol kesehatan. Seger dumun tunas (sehat yang dicari),” kata guru besar kelahiran Jembrana itu, Senin (14/9).
Prof. Mahardika meminta sejumlah pihak yang menggelar demonstrasi atau kegiatan berkumpul di masa pandemi untuk lebih arif dan bijaksana serta memikirkan nasib banyak orang. “Galungan, Kuningan, Pilkada, aksi sosial, demonstrasi, dan hari raya, cukup dari rumah aja. Ngacep, ngayeng, mendoakan dari rumah saja,” tegas Prof. Mahardika sembari menyebut sistem coblos langsung “berbahaya” di masa pandemi. Bila ada paslon yang sengaja membiarkan orang lain terpapar virus, tegasnya itu tindakan sembrono.
“Pandemi belum berlalu. Bisa disuarakan dengan cara tidak membuat kerumunan. Kluster pilkada, khususnya bila disebarkan dari satu kampanye ke kampanye lain itu berbahaya. Risiko besar terjadi saat pengerahan massa. Bagi saya politisi yang hanya demi menunjukkan kekuasaan politik lalu melakukan pergerakan bahasa berarti telah melakukan tindakan berbahaya sekaligus tidak bertanggung jawab,” ungkapnya.
Disinggung soal jumlah kasus Covid-19 di Indonesia yang mencapai 218.382 kasus dengan 8.732 orang korban jiwa, Prof. Mahardika menghubungkan kasus angka-angka itu dengan fenomena gunung es. Yang kelihatan hanya puncaknya semata, sementara jumlah kasus sejatinya sangat banyak namun tidak terdata karena pengujian yang sangat terbatas.
Lebih lanjut, Prof. Mahardika menegaskan, Bali sedang menghadapi dua masalah besar karena pemerintah labil dan tuntutan ekonomi. “Ini tak bermaksud menakut-nakuti. Aktivitas virus Covid-19 sedang menanjak tajam di Bali saat ini. Jumlah kasus fatal minggu pertama September sudah lebih banyak dari bulan Agustus selama 31 hari. Semua sudah diperingatkan. Kita tak berbenah. Empat bulan kita diberi waktu. Empat bulan kita tak bekerja dengan benar. Maret, April, Mei, Juni, saat segala urusan tak diserahkan pada ahlinya atau sesuai ilmu pengetahuan, prahara menunggu di batas kota,” tandasnya. bud/edo/poll