Rabu, 27 November, 2024

Peringati 403 Tahun Peristiwa Genosida, Masyarakat Negeri Dwiwarna Gelar Buka Kampung 

Buka Kampung di Negeri Dwiwarna Banda Neira, dihiasi dengan tarian tradisional Cakalele.

AMBON, MENITINI.COM – Warga Negeri (Desa) Dwiwarna Banda Neira, Kabupaten Maluku Tengah memperingati 403 tahun peristiwa genosida dengan menggelar acara adat buka kampung.

“Kegiatan buka kampung merupakan sebuah ritual yang dilakukan oleh masyarakat adat di Banda. Ritual buka Kampung  dalam rangka memperingati dua peristiwa besar, yaitu pertama tragedi kemanusiaan di Banda Neira yang dikenal dengan genosida 44 orang kaya di Banda selaku tokoh-tokoh Banda oleh penjajah Belanda mereka dibunuh,” kata Kepala Pemerintah Negeri Dwiwarna Banda Neira Supriandi Marassabessy di Banda, Sabtu (11/5/2024).

 Dijelaskan, pembantaian yang terjadi di Banda pada 8 Mei 1621 tersebut dilakukan oleh VOC untuk memonopoli perdagangan dengan menyebarkan fitnah kepada masyarakat pribumi, Inggris, dan Portugis sehingga mengacaukan perdagangan.

Para korban pembantaian dimutilasi menjadi empat potongan, sebagian tubuhnya digantung di pohon bambu dan sebagian dimasukkan ke sumur.

Selain peristiwa itu, katanya, prosesi adat tersebut juga untuk mengenang letusan gunung api Banda pada 9 Mei 1988 yang merupakan erupsi terakhir dalam sejarah letusan gunung berapi di Banda, Maluku Tengah.

Benteng Belgica, salah satu situs Sejarah peninggalan VOC, terlihat keindahan gunung api Banda Neira yang pernah meletus pada 9 Mei 1988.

“Peristiwa erupsi itu telah menewaskan tiga orang warga dan menghancurkan delapan perkampungan di pulau vulkanik tersebut, yakni Kampung Sambayang, Batu Kuda, Batu Angus, Kalobe, Paser Basar, Tanjung Baru, Nawao dan Kapal Pica, dalam satu wilayah admistratif Desa Gunung Api Utara, dan peristiwa tersebut menjadi traumatik tersendiri bagi masyarakat Banda yang hidup saat ini” jelas Supriandi.

Dalam adat buka kampung terdapat prosesi buka puang yang jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia yakni terbukanya mayang kelapa yang melambangkan persatuan adat Negeri (Desa) di Dwiwarna, sekaligus sebagai semangat untuk mempertahankan negeri dari segala gangguan, kata Supriandi. 

Selain itu, ada juga pemasangan atribut adat, pemasangan tiang-tiang adat secara simbolis, pengoperasian perahu belang atau perahu naga, hingga tarian adat cakalele, dan akhirnya sampai pada prosesi tutup kampung.

“Seluruh acara adat tersebut dilakukan sepanjang sepekan tergantung dengan banyaknya prosesi yang dilakukan,” ucapnya. 

Berdasarkan pantauan, ada lima pemuda Negeri Dwiwarna yang menggunakan pakaian perang lengkap dengan topi perang atau capsette, yang melambangkan kesiapan dalam berperang melawan penjajah.

Pada prosesi itu tampak mereka kembali ke rumah raja negeri diiringi dengan tabuhan tifa dan beberapa remaja perempuan berkebaya untuk menyambut para prajurit dari medan perang.

Melalui kegiatan adat seperti ini Supriandi berharap generasi muda dapat melestarikan adat negerinya, dan tidak melupakan sejarah Banda Neira. (M-009)

  • Editor: Daton