Kelima. Pulau Demokrasi. Julukan ini bukan tanpa alasan. Nilai kearifan lokal Bali sesungguhnya sudah menunjukkan kualitas demokrasi. Sebut saja salah satunya sistem irigasi tradisional Subak yang dengan cara yang rapih, damai, bisa berbagi air tanpa konflik. Begitu juga dalam pengembangan kualitas demokrasinya. Bali, dengan penduduk 4,3 juta jiwa (tahun 2022) yang dikenal secara sosial, baik suku maupun agama yang dianut, tampak homogen, tengah berkontraksi terhadap berbagai perubahan sosial yang dialaminya.
Semakin derasnya arus modal dan pendatang sedikit banyak turut memengaruhi keseimbangan sosial yang sudah terbentuk sebelumnya. Tidak hanya terkait dengan intervensi eksternal saja, berbagai kajian menunjukkan, di kalangan internal masyarakat Bali sendiri selama ini tengah berlangsung pula pergeseran struktur dan kultur masyarakat yang cenderung memudarkan nilai kultural Bali. Namun faktanya, Bali tetap kokoh dengan budaya dan agamanya.
Penegasan Bali sebagai pulau demokrasi justeru terjadi pada masa Pemerintahan SBY dengan menjadikan Bali sebagai tuan rumah event global bernama Bali Democrazy Forum (BDF) yang hingga kini menjadi event tahunan di Bali.
Keenam. Bali Pulau Toleransi. Bali menjadi salah satu provinsi di Indonesia dengan tingkat toleransi yang tinggi. Saya sendiri mengalami keberadaan toleransi ini di pulau Bali. Menurut sensus penduduk tahun 2019, jumlah umat muslim di Bali sudah mencapai 800 ribu orang. Itupun mereka adalah kebanyakan pendatang dari pulau Jawa dan pulau lainnya. Lantas apa yang membuat toleransi beragama di Bali begitu terjaga? Masyarakat Hindu di Bali memiliki keyakinan manusia harus hidup damai dengan Tuhan, alam, dan sesamanya. Keyakinan ini dikenal dalam istilah Tri Hita Karana (THK) Pengamalannya sangat melekat diajarkan kepada pemeluk agama Hindu sejak kecil di Bali. Sebenarnya di semua agama memang mengajarkan hal yang sama. Namun harus kita akui, masyarakat Hindu berhasil mempraktikka dengan baik.
Faktanya, para pendatang yang mayoritas adalah Muslim memiliki tempat yang baik dalam hal pekerjaan mereka di Bali. Pasar, kantor, dan tempat-tempat perputaran roda perekonomian lainnya hampir seluruhnya lebih dikuasai pendatang dari pada masyarakat asli Bali. Mereka yang beragama Hindu dan asli penduduk Bali tidak merasa terganggu apalagi terjajah.
Anjing dan babi, misalnya, yang tidak diharamkan oleh masyarakat Hindu di Bali juga tidak menjadi perkara yang rumit bagi umat Muslim untuk beraktivitas. Mereka tetap harmonis dengan menjaga batasan-batasan syariat Islam secara kaffah.
Kendati pun Bali pernah dibom oleh sekelompok Muslim ekstrimis tahun 2002 dan 2005 lalu, masyarakatnya hingga kini masih teguh menjaga toleransi dan menghormati Muslim pendatang. Bahkan dalam urusan shalat, jika kita tengok di masjid-masjid di Bali, setiap shalat Jumat dan shalat hari raya tidak jarang akan terlihat pecalang yang membantu mengamankan arus lalu lintas dan ketertiban kendaraan di sekitar masjid.
Muslim pendatang di Bali tidak merasa terkucilkan oleh masyarakat Hindu. Begitu pula sebaliknya umat Hindu di Bali tidak merasa lahan mereka telah diambil dan dikuasai para pendatang. Keduanya justru bahu-membahu dan melakukan hubungan saling ketergantungan dalam bidang ekonomi dengan baik.