Oleh : Dahlan Iskan
HARI ini abu jenazah beliau diberangkatkan ke Kota Batu. Setelah disemayamkan satu malam di Surabaya. Juga setelah mampir satu malam di Semarang –dalam perjalanan asal abu itu dari Jakarta.
Nama almarhum: Romo Jusuf Halim. Beliau imam Katolik dari ordo SVD. Seorang Tionghoa asal Palembang. Yang meninggal karena Covid-19 di Jakarta, Jumat, 29 Januari lalu.
Romo Halim populer sekali. Karena karismanya. Karena marahnya. Karena humor-humornya. Karena jiwa ikhlas melayaninya.
Ordo SVD (Societas Verbi Divini), memang lebih fokus ke pendidikan dan sosial. Itu cocok sekali dengan jiwa Romo Halim.
Misalnya dalam merukunkan rumah tangga. Romo Halim terkenal karena bisa membuat suami-istri hidup rukun. Yang bertengkar bisa kembali damai. Yang mau cerai tidak jadi pisah. Yang sudah pisah ranjang bisa menyatu lagi.
Untuk itu Romo Halim mendirikan paguyuban Tulang Rusuk. Anda sudah tahu maksudnya: istri itu terbuat dari tulang rusuk suami. Awal di zaman Adam dulu. Tidak boleh pisah.
Saat Romo Halim meninggal, anggota Tulang Rusuk sudah 20.000 orang. Mereka begitu berterima kasih kepada Romo Halim.
Di Surabaya saja anggotanya 4.000 orang. Bukan karena terlalu banyak pasangan yang bertengkar di Surabaya. Tapi karena ketuanya memang tokoh pengusaha besar: Teguh Kinarto. Yang aktif sekali. Yang perumahan murahnya terbesar di Jatim.
Dan itu pula sebabnya mengapa abu jenazah Romo Halim ”harus” mampir Surabaya. Terlalu banyak yang ingin memberi hormat kepada sang Romo –meskipun hanya bisa secara online.
Di Surabaya abu itu disemayamkan di sebuah rumah Jalan Mojopahit. Itulah kantor komunitas Santo Michael.
Bahwa kemudian Kamis hari ini abu diperjalankan ke Batu juga ada ceritanya. Di situlah, di lereng gunung itu, Romo Halim punya inisiatif membangun Taman Getsemani.
Nama taman itu diambil dari kisah kerasulan. Di sebuah lereng gunung di Jerusalem terdapat sebuah taman. Namanya Taman Getsemani. Di situlah dipercaya Jesus berdoa untuk terakhir kalinya. Sebelum disalib.
Taman Getsemani di Batu itu sudah jadi. Ada yang mengira itulah taman ”rumah abu”. Agar semua Romo yang meninggal abunya disimpan di situ. Begitulah media sosial berspekulasi secara luas. Bahkan, disebut di medsos, di Taman Getsemani itulah abu Romo Halim akan disimpan abadi.
“Beliau yang punya ide, ternyata abu beliau yang pertama disimpan di situ”. Begitu kata medsos.
Sebenarnya tidak begitu. Saya bertemu dengan pengusaha real estate Sidoarjo. Yang juga anggota Tulang Rusuk. Namanya: Johanes Tjandra.
Empat tahun lalu Tjandra ziarah ke Israel. Bersama 50 orang lainnya. Dari seluruh Indonesia. Romo Jusuf Halim-lah yang memimpin ziarah itu.
Selama 15 hari ziarah, Tjandra menjadi akrab dengan Romo Halim. Ia semakin kagum pada karisma Romo itu.
Saat itulah lahir ide Romo Halim untuk membangun Taman Getsemani di Batu. Tjandra yang diminta membangun.
Taman itu berlokasi di sebuah vila seluas 1 hektare. Nama vilanya: DOMUS ARNOLDUS.
Di dalam kota Batu yang dingin. Di lokasi itu sudah ada vila besar. Terdiri dari 20-an kamar.
Di villa besar itulah para pastor yang sudah purna tugas menghabiskan masa tua. Ada yang sampai meninggal dunia. Ada yang hanya sementara –kemudian dijemput keluarga.
Saat ini ada sekitar 8 Romo purnatugas yang tinggal di villa itu.
Romo Halim ingin membuat para Romo-sepuh tersebut lebih bahagia. Dengan menambahkan taman yang indah di situ. Termasuk satu bangunan yang bisa untuk acara serba guna.
Hari ini abu Romo Halim akan diminta ”menyaksikan” Taman Getsemani itu terakhir kalinya. Tahun lalu Romo Halim sempat ke Batu. Termasuk melihat taman baru itu. “Beliau puas sekali,” ujar Tjandra.
Setelah itu tidak datang lagi. Romo Halim sangat menjaga diri dari virus korona. Beliau tidak ke mana-mana. Hanya di rumahnya di Tangerang, dekat Jakarta.
Disiplin itu juga dikenakan kepada tamu-tamu Romo. Yakni tamu yang tidak bisa ditolak. Romo tidak mengizinkan sang tamu membawa teman. Harus sendirian. Dan harus sudah tes Covid negatif.
Beliau juga sangat jarang ke kantor. Hanya kalau benar-benar terpaksa.
Pun acara-acara retreat Tulang Rusuk. Dibatalkan semua. Tahun 2020 kemarin tidak satu pun retreat Tulang Rusuk diadakan. Yang mendaftar sudah sangat panjang.
Sampai orang Surabaya membangun sendiri tempat retreat di Leduk, Trawas, dekat Tretes. Di lereng Gunung Penanggungan.
Setahun dua kali Tulang Rusuk retreat di situ: bisa untuk 120 orang. Acaranya selalu tiga hari: Jumat-Sabtu-Minggu.
Tiga hari penuh Romo Halim memimpin sendiri retreat itu. Sejak acara perkenalan di hari pertama. Sampai kebaktian penutupan di Minggu sore –khusus bagi yang Katolik.
Sedang yang beragama lain tidak perlu mengikutinya.
“Tiga hari itu kami dibuat hanyut oleh Romo Halim,” ujar Teguh Kinarto.
Mereka hanyut oleh humor-humor beliau yang spontan. Oleh keharuan yang sampai membuat mereka semua menangis. Oleh keseriusan beliau kalau lagi marah. Dan oleh kesyahduan doa yang dipimpinnya.
Ada satu adegan yang tidak akan bisa dilupakan semua peserta retreat. Yakni di hari Sabtu. Ketika Romo Halim menunjukkan keihklasannya sebagai pelayan umat. Pelayan dalam pengertian sebenarnya.
Hari kedua itu Romo Halim duduk bersimpuh di lantai, bertumpu pada lutut beliau. Di depan lutut itu ada baskom berisi air. Di dekat baskom itu ada kursi. Peserta diminta duduk di kursi itu. Dengan telapak kaki direndam di air di dalam baskom.
Saat itulah, dengan duduk bersimpuh di lantai itu Romo Halim mencuci kaki umatnya. Dengan doa. Dengan kasih sayang. Dengan ketulusannya.
Baskom itu diganti dengan baskom yang baru. Dengan air yang baru. Satu peserta lagi diminta duduk di kursi. Merendam kaki di baskom. Kaki itu dicuci oleh Romo Halim. Sampai bersih. Sampai semua peserta mendapat giliran.
Yang suami-istri kaki mereka dimasukkan bersama ke baskom yang sama.
Memang ada yang datang ke retreat tanpa istri. Atau tanpa suami. Anda sudah bisa menebak: lagi bertengkar. Sering hari kedua pasangan mereka sudah menyusul.
Siapa saja – -tanpa melihat suku dan agama– bisa menjadi anggota Tulang Rusuk. Syaratnya hanya satu: sudah kawin selama paling tidak lima tahun.
“Kalau belum lima tahun biasanya belum bertengkar,” ujar Teguh Kinarto sambil tertawa.
Saya sebenarnya juga ingin ikut ke Batu. Tapi ada seruan tidak boleh ada yang datang – -karena Covid.
“Kemungkinan besar bukan di Batu abu beliau disemayamkan. Mungkin di Poh Sarang,” ujar Johanes Tjandra.
Poh Sarang, di lereng gunung Wilis, Kediri memang menjadi salah satu Katolik Center di Jatim. Kebetulan sudah banyak juga Romo yang abunya disimpan di sana.
Tidak menyangka Romo Halim meninggal karena Covid. Begitu disiplin. Usianya pun baru 65 tahun –yang untuk zaman sekarang masih dibilang muda.
Awalnya, disangka, Romo Halim dapat serangan jantung. Beliau memang ada riwayat jantung.
Itu dua tahun lalu. Ketika beliau ke Australia. Untuk memberi pelayanan di sana. Di antara jemaat itu ada yang dokter. Tidak hanya satu. Beberapa orang dokter. Secara iseng ditawarkanlah agar Romo mau diperiksa. Ternyata ditemukan ada penyumbatan jantung: harus dipasang ring.
Mau dipasang di Australia atau di Indonesia?
“Di Indonesia saja,” ujar beliau.
Itu memang dilakukan. Ternyata harus dipasang dua ring. Lalu beres. Sehat. Terasa enak. Tidak ada masalah.
Di masa Covid ini beliau menyadari itu. Punya penyakit jantung adalah komorbid yang bahaya di masa Covid. Karena itu Romo Halim sangat hati-hati. Juga rajin olahraga. Tiap hari beliau main pingpong. Di rumahnya.
Minggu lalu Romo Halim ke kantor. Ada yang harus diselesaikan. Di kantor Romo Halim bertemu Romo lain. Bicara-bicara.
Besoknya Romo Halim dapat kabar bahwa teman ngobrolnya kemarin positif Covid. Romo Halim pun curiga pada diri sendiri. Dilakukanlah test antigen. Negatif. Tapi hari itu tidak main pingpong.
Romo Halim sudah merasa ada yang kurang beres.
Besoknya beliau tes lagi. Negatif lagi. Tapi juga tidak main pingpong.
Hari ketiga Romo Halim main pingpong. Terjatuh. Dikira jantung yang bermasalah. Dilarikanlah ke rumah sakit. Meninggal. Ditemukanlah bahwa Romo Halim ternyata positif.