*) Agustinus Apollonaris KD
21 Pebruari diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN). Penetapan tanggal tersebut oleh pemerintah sebagai peringatan terhadap Tragedi Leuwigajah 18 tahun silam. Dimana ambruknya sampah di TPA Leuwigajah Ciamis, Bogor Jawa Barat akibat curah hujan tinggi dan ledakan gas metana pada tumpukan sampah TPA menyebabkan mengakibatkan 157 orang meninggal dunia terkubur dalam reruntuhan sampah.
Tragedi Leuwigajah 21 Februari 2005 merupakan bencana alam terbesar kedua di dunia yang pernah terjadi dari pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Sebelumnya, 10 Juli 2000, TPA Payatas, Quezon City, Filipina, longsoran sampah juga mengubur lebih dari 200 orang. Angka itu belum termasuk ratusan orang lain yang hilang dalam bencana tersebut. Inilah rekor korban tertinggi di dunia. Tragedi Leuwigajah menyisakan kepedihan mendalam. Begitu pula bagi mereka yang selamat, kehilangan orang-orang yang dicintai.
Belajar dari tragedy ini maka lahirlah UU No 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan pemerintah kemudian menetapkan tanggal 21 Pebruari sebagai Hari Peduli Sampah Nasional. UU 18/2008 mengamanatkan kepada kita semua untuk mengelolah sampah yang kita hasilkan, namun sampai saat ini pengelolaan belum dilakukan maksimal. Upaya penanganan dan pengelolaan sampah harus melibatkan seluruh komponen masyarakat; pemerintah baik pusat dan daerah, akademisi, aktivis, komunitas, dunia usaha, asosiasi profesional, pelaku daur ulang, pemulung, pengepul dan bahkan individual. Namun faktanya kita masih setengah hati mengelola dan mengolah sampah kita.
Hingga era kekinian sampah plastik dan styrofoam makin banyak digunakan karena mudah didapat namun sangat sulit dihancurkan. Bekas kemasan plastik produsen dapat bertahan lama memerlukan waktu ratusan tahun terurai oleh tanah. Sedangkan styrofoam tidak terurai sempurna, dapat berubah jadi mikroplastik yang mencemari lingkungan.
Di Indonesia tahun 2020 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang saat ini bersalin baju menjadi Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), melakukan penelitian di 18 kota utama di Indonesia. Mereka menemukan 0,27 juta ton hingga 0,59 juta ton sampah masuk ke laut. Sampah plastik dan styrofoam banyak ditemukan masuk ke laut dan sungai
Di sepanjang pantai di Bali khususnya di kawasan pantai Kuta, Legian, Seminyak, Jimbaran, Ungasan dan Nusa Dua ketika musim barat tiba (Oktober – Maret) muncul sampah kiriman yang berserakan di sepanjang bibir pantai. Sepanjang tepi pantai berserakan sampah yang didominasi sampah plastik dan kayu.
Di antara tumpukan sampah, ditemukan beberapa botol kemasan plastik dari berbagai merek. Komposisi sampah plastik lebih dari 80 persen. Jenis plastik yang ditemukan tipe PP, LDPE, PET, HDPE.
Selain UU No 18 Tahun 2008, regulasi lain yang mengatur tentang sampah yakni Peraturan Pemerintah No 27 tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik, Permen 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah Oleh Produsen. Sementara di Bali regulasi yang mengatur tentang sampah sudah diatur jelas : Perda No 5 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Sampah, Pergub No 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai, Pergub 47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber dan SK Gubernur Bali No 381/03-P/HK/2021 Tahun 2021 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah Berbasis Desa/Kelurahan dan Desa Adat.
Dengan regulasi yang telah ada, tak ada alasan untuk tidak mengelolah sampah yang dihasilkan oleh masyarakat termasuk sampah bekas kemas yang dihasilkan produsen yang sulit diurai dan tidak dapat diguna ulang, seperti kemasan plastik. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen yang mengatur pengurangan sampah oleh produsen dari 2020-2029. Selain itu, dalam rangka pendaur ulang sampah, dan pemanfaatan kembali sampah harus diiringi penarikan kembali sampah yang disertai penyediaan fasilitas penampungan.
Produsen memiliki kewajiban untuk melakukan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, dan laporan dalam rangka pengurangan sampah yang dihasilkan oleh produsen. Produsen memiliki kewajiban untuk melakukan edukasi kepada konsumen agar turut berperan dalam pengurangan sampah.
Sesungguhnya produsen sesuai amanat UU 18 Tahun 2008 punya tanggung jawab yang diperluas yakni Extended Producers Responsibility (EPR). Tanggung jawab ini melampaui tanggung jawab CSR (corporate social responsibility). EPR merupakan kebijakan di mana produsen wajib bertanggung jawab terhadap produk yang dibuat atau dijual (beserta kemasan yang bersangkutan) saat produk menjadi sampah. Dengan kata lain, produsen menanggung biaya mengumpulkan, memindahkan, mendaur ulang, dan membuang produk atau material di penghujung siklus hidup.
Produsen jangan memikirkan keuntungan semata, tapi menyisihkan EPR sesuai mandatory Pasal 15 UU 18 2008 yang mengamanatkan, “Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam”. Caranya menjalankan Permen 75 tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen dengan mengatur pengurangan sampah produsen dari 2020-2029. Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen ini disusun untuk waktu 10 tahun ke depan, dengan target pengurangan sampah barang dan kemasan barang serta wadah, terutama berbahan plastik sekali pakai, sebesar 30 persen dari jumlah produk dan/atau kemasan produk yang dihasilkan yang dipasarkan.
Selain itu, Permen LHK tersebut juga menargetkan tidak digunakannya lagi secara nasional beberapa jenis plastik sekali pakai buang pada 1 Januari 2030. Permen LHK No. P.75/2019 tersebut merupakan “Cara Indonesia” (Indonesian Way) dalam upaya mengatasi persoalan sampah plastik yang juga menjadi persoalan global saat ini.
Namun saat ini masih banyak sekali produsen yang belum menjalankan road map tersebut. Dari ribuan produsen di tanah air, sampai dengan tahun 2022, baru 25 produsen yang menunjukan keseriusan dengan mengirimkan dokumen perencanaan pelaksanaan peta jalan pengurangan sampah 2020-2029 ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Ini sungguh menyedihkan! Sekaligus menjadi jalan terjal bagi produsen di tanah air dalam menjalankan peran mengelolah bekas sampah plastik kemasan produsen. (*)
*) Penulis, Ketua Jaringan Jurnalis Peduli Sampah (J2PS)