Pasal 8 Ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2021 ini turut mengandung makna filosofis yang kuat dalam mengatur tentang sikap, perilaku, dan tanggung jawab Jaksa dalam menjalankan tugasnya. “Pasal ini juga mengingatkan Jaksa untuk tidak hanya berorientasi pada aspek formal hukum, tetapi juga aspek substansial hukum yang mencerminkan nilai-nilai moral, etik, dan sosial. Selain itu, pasal ini juga mengharapkan Jaksa untuk menjadi teladan bagi masyarakat dalam menegakkan hukum yang adil dan bermartabat,” kata Ketut Sumedana.
Dengan demikian, kata Ketut Sumedana, dapat diambil kesimpulan bahwa Jaksa mendasarkan penuntutannya tidak hanya berpijak pada peraturan perundang-undangan semata, tetapi dapat bebas secara bertanggungjawab untuk menafsirkan dan menginterpretasikan hukum tersebut dengan mengedepankan nilai kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Oleh sebab itu, bila terjadi pertentangan antara hukum positif (kepastian hukum) dengan keadilan, ataupun terdapat suatu keadaan dimana tidak ada aturan yang mengatur mengenai suatu peristiwa atau aturan yang ada belum dapat mengakomodir kebutuhan hukum dalam masyarakat, Jaksa harus menggali nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kebenaran didalam masyarakat itu sendiri sehingga dapat hadir untuk memberikan solusi terbaik bagi semua pihak dalam upaya untuk menyelesaikan konflik.
Dilihat dari serangkaian konstruksi hukum diatas dan dihubungkan dengan perkara a quo, apabila Terdakwa MARIO DANDY SATRIYO alias DANDY tidak mampu ataupun tidak mau membayar restitusi sebesar Rp120.388.911.030 yang telah ditentukan oleh LPSK untuk diberikan kepada anak korban Crystalino David Ozora alias Wareng, sementara tidak ada pidana pengganti restitusi yang dapat dibebankan kepada Terdakwa MARIO DANDY SATRIYO alias DANDY, dkk, maka sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, telah terjadi suatu kekosongan hukum.
Kekosongan hukum tersebut menimbulkan ketidakadilan bagi korban tindak pidana (anak korban Crystalino David Ozora) yang berhak mendapatkan restitusi sebagai salah satu bentuk pemulihan kerugian fisik, psikis, dan materiil yang dialaminya akibat tindak pidana tersebut. Hal ini didasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf a Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana: “Peraturan Mahkamah Agung ini berlaku terhadap permohonan Restitusi atas perkara tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, diskriminasi ras dan etnis, tindak pidana terkait anak, serta tindak pidana lain yang ditetapkan dengan Keputusan LPSK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.” Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana: (1) “Setiap Anak yang menjadi korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi.” (2) “Anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: e. Anak korban kekerasan fisik dan /atau psikis.”
Pasal 1 angka 11 UU No. 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban & Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 2018 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban: “Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau Keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga.”
Berita Terkait
- Diduga Aniaya Seorang Pemuda Hingga Babak Belur, 4 Anggota Polisi Diamankan Propam
- Marak Beredar Rokok Tanpa Cukai di Toko Kelontong, Satpol PP - Bea Cukai Sidak
- Kejati Sulsel Lakukan Penyidikan Baru Dugaan Tindak Pidana Korupsi di PT. SI Cabang Makassar
- Polisi Tangkap RB, Diduga Terlibat Pembunuhan di Desa Ngadi Tual