Jumat, 22 November, 2024

Sidang PTUN Sengketa Tanah di Desa Ungasan, Dua Saksi Penggugat Tidak Hadir

Sidang sengketa tanah di Desa Ungasan, Badung, dalam perkara Nomor 27/G/2023/PTUN.DPS, berlanjut di PTUN Denpasar, pada Selasa (20/2/2024). (Foto: M-003)

DENPASAR, MENITINI.COM – Setelah pemeriksaan setempat oleh PTUN Denpasar, Sening (19/2/2024), akhirnya sidang sengketa tanah di Desa Ungasan, Badung dalam perkara Nomor 27/G/2023/PTUN.DPS, digelar Selasa (20/2/2024) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar.

Sidang yang dipimpin Majelis Hakim, Zubaida Djaiz Baranyanan, SH. MH., dan Anggota  Simson Seran, SH MH., Dewi Yustitiani, SH. MKn., itu, dengan agenda menghadirkan saksi-saksi berlangsung sengit.

Kuasa Hukum Penggugat dari Pj Gubernur Bali, I Ketut Ngastawa, SH dkk yang sedianya menghadirkan dua saksi ternyata tidak hadir dengan alasan sakit.

Sementara Tergugat II Intervensi, I Nyoman Mandra Dkk yang dibela oleh Kuasa Hukumnya, Dr. Teguh Samudra, SH, MH dan I Putu Wirata, SH menghadirkan tiga saksi, I Wayan Sudirta, SH yang dahulu menjadi Ketua Pansus Konflik Agraria dan SDA DPD RI pada tahun 2013, I Wayan Wandra (Kepala Dusun Bakungsari tahun 1998-2016), dan I Made Suka, warga Ungasan yang bertetangga dengan para Tergugat II Intervensi.

Pada kesempatan itu, Suka dan Wandra membenarkan, penggarap tanah negara di Desa Ungasan adalah Tergugat II Intervensi, Nyoman Mandra dkk, yang menggarap sekitar 14 ha tanah negara secara turun temurun sejak ratusan tahun lalu.

Saksi menjelaskan, sekitar tahun 1970-an, di sana masih ada yang bertanam padi gage, kedelai, kacang-kacangan, pisang, jati, gamal, silik, beternak sapi, dan diatas Garapan Nyoman Nulung.

Bahkan juga berdiri Pura Batu Nunggul, tempat bersembahyang keluarga Nulung, guna memohon keselamatan dan berkah dari Hyang Widhi. “Saya tahu, karena bertetangga dengan mereka. Juga sering lewat di sekitar tanah sengketa. Bahwa sekarang tidak ada lagi yang bertanam padi, karena perubahan zaman, banyak yang bekerja di swasta, tapi mereka tetap menggarap sampai sekarang,’’ ujar Made Suka.

Ketika ditunjukkan Kuasa Tergugat II Intervensi sejumlah  bukti-bukti surat sebagai alas hak para penggarap, Made Suka membenarkan dan mengetahui adanya  surat-surat tersebut adalah alas hak untuk menggarap tersebut. Yakni SURAT PERNYATAAN MENGGARAP dari Para Tergugat II Intervensi, serta SURAT KETERANGAN Perbekel Desa Ungasan.

Sementara itu, saksi ketiga, Wayan Sudirta membeberkan adanya Kesimpulan Pansus Konflik Agraria dan SDA DPD RI, dimana terungkap atas obyek sengketa di Ungasan yang notabene tanah negara tersebut, sudah ada putusan PTUN dari tingkat pertama, banding dan kasasi di MA yang memenangkan para Tergugat II Intervensi, yang mulai berperkara pada tahun 2000.

Gugatan di PTUN dilakukan melawan Kantor Pertanahan Kabupaten Badung, yang menolak permohonan sertifikat hak milik, walaupun sudah dilakukan proses dan seluruh persyaratan sudah terpenuhi dalam mengurus permohonan sertifikat hak milik tersebut.

Diantara dasar hukum dan alas hak untuk mengajukan permohonan hak milik adalah Surat Pernyataan Menggarap yang disahkan oleh Kepala Dusun Bakungsari Ungasan, Surat Keterangan Perbekel Ungasan tentang penguasaan tanah, Sporadik dari para penggarap, serta Kesimpulan Pansus Konflik Agraria dan SDA DPD RI pada 14 Maret 2013.

Dalam kesimpulan Pansus Konflik Agaria ini, disepakati bahwa tanah yang dimohon adalah tanah negara, merujuk pada putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap.

Namun walaupun sudah memegang putusan PTUN Denpasar sampai kasasi yang  memenangkan para Tergugat II Intervensi, juga ada Kesimpulan Pansus DPD RI, justru yang memohon SHP sampai terbitnya SHP No. 121 dan SHP No. 126 adalah Pemprov Bali, yang pada tahun 2015/2016 dijabat oleh Made Mangku Pastika.

Sudirta tak segan-segan mengungkap adanya 4 bukti surat yang diduga palsu yang diajukan oleh Kuasa Hukum Pemprov Bali dalam perkara Nomor 27/G/2023/PTUN.Dps tersebut.

“Melihat liku-liku perjuangan Nyoman Mandra dkk ini nampak betapa Pemprov Bali berlaku tidak adil, tidak peduli pada hak-hak rakyat, menindas hak-hak rakyat, padahal mereka sudah memegang putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, juga sudah ada rekomendasi Pansus DPD RI. Dimana letak keadilan, dimana letak kepastian hukum? Apalagi, dalam permohonan sampai Pemprov Bali mendapat dua SHP, jelas-jelas ada pejabat yang membuat surat palsu, seperti diungkap Saksi Wayan Sudirta dalam persidangan,’’ tandas Tergugat II Intervensi, Putu Wirata. (M-003)

  • Editor: Daton