Al Gozali Hide
Pegiat Literasi Politik dan Terorisme
Dalam perspektif demokrasi, Terorisme merupakan kulminasi atau puncak dari aspirasi. Jadi,apabila pemerintah bisa mambuat keputusan yang adil, maka gerakan teror akan berkurang dengan sendirinya.
Terorisme sendiri berdimensi kekuasaan, karena memang obyeknya adalah kekuasaan. Jadi jika ada aksi parsial, itu kemungkinan ada dua hal, sebagai rangkaian dari dimensi besar atau memang sengaja dibuat oleh strutur politik tertentu guna menegaskan bahwa ada ancaman terhadap kekuasaan.
Isu Terorisme terbesar di Indonesia sangat erat kaitannya dengan militansi, ekstrimis dan fundamentalis kelompok Islam tertentu. Karena ada argumentasi historis tentang itu yaitu peristiwa pemberontakan DI/TII. Tetapi hal itupun sudah mengalami rekonsiliasi setelah puluhan tahun Indonesia merdeka.
Rekonsiliasi akan berjalan baik jika pemerintah bisa menjaganya dengan cara menampung aspirasi mereka yaitu memungkinkan tumbuhnya pokok-pokok syariah dalam sistem politik ketatanegaraan. Syariah dalam hal ini bukan mendirikan negara Islam, tetapi bagaimana menjaga nilai kekuasaan yang mengakomodir nilai-nilai syar’i seperti misalnya tidak korupsi, tidak menjual negara ke pihak asing, menjaga kedaulatan negara dan mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Kini yang perlu diperhatikan adalah terorisme paling besar dan bahaya yang dihasilkan dari gerakan neo strukturalisme, gerakan ini telah lahir sekaligus sebagai salah satu contoh dari ideal war. Yaitu gerakan global yang meleburkan negara dalam satu kehendak kecil tapi dengan kekuatan besar. Berupa dominasi investasi asing indonesia, kartelisasi, menutup akses untuk menjadi kaya dan pandai bagi seluruh warga negara. Ujungnya ialah publik hanya cukup menjadi pekerja cerdas yang menghasilkan uang untuk kekayaan sekelompok orang. Mereka bekerja keras lalu digaji dan membeli barang dari lingkaran kartel. Ini sistem yang melingkari kebebasan dan kemerdekaan negara.
Peristiwa di Kartasura adalah bentuk legalisasi politik, tangan tangan gelap dalam kekuasaan bekerja untuk mempertahankan keberlanjutan neo strukturalis dengan cara menjaga klaim negatif terhadap golongan Islam terus berlanjut. Hal ini didasarkan pada analisa bahwa, jika pelaku yang meledakkan di depan pos polisi Kartasura benar benar teroris maka yang akan diledakan adalah markas Polsek atau Polres yang jaraknya tidak berjauhan dari lokasi kejadian. Tetapi ledakan justru terjadi di Pos Polisi yang tidak ada hubungannya dengan jaringan dan simbol kekuasaan. Aksi itu terbaca jelas sebagai konspirasi.
Sistem penanganan hukum terorisme di Indonesia ini berbuntut pada ketidakadilanadan cenderung melanggar HAM. Karena hal ini menjadi alat penguasa untuk mengebiri aspirasi.
Saat ini, mereka yang berseberangan dengan penguasa dengan menggunakan semangat Islam sebagai entitas sudah dianggap sebagai subversif. Sebaiknya memang diperlukan adanya kebaharuan hukum terkait penyelidikan dan pembuktian. Hakim diberikan kewenangan untuk memformulasikan hasil investigasi lembaga atau badan hukum non negara sebagai pembanding dari dominasi dan dikotomi Kepolisian.
Hal ini penting agar polisi tidak menjadi Superior yang berakibat pada pelanggaran hukum. Jika kerangka ini dibuka, maka akan banyak lembaga non pemerintah yang akan terlibat dalam agenda reformasi sektor keamanan.
*Al Gozali Hide adalah Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan di Solo, Jawa Tengah, juga merupakan Advokat serta Pegiat Hukum pada Kantor Hukum HIDELAW. Ia juga tercatat sebagai peneliti pada The IDSPS (Institute for Defense and Scurity Studies).