DENPASAR, MENITINI.COM – Thailand baru saja melegalkan ganja. Hal ini merupakan terobosan bagi negara-negara di Benua Asia. Thailand menjadi yang pertama kali melegalkan penanaman ganja pribadi dan penggunaan secara medis. Namun, untuk penggunaan rekreasional tetap terbatas. Pembatasan ini terkait kandungan dari ganja yang boleh beredar bebas. Selama masih dalam indikasi medis dan kurang dari 0,2% maka sah-sah saja. Memang penggunaan ganja di Indonesia masih terlarang, namun tidak menutup kemungkinan bahwa penggunaan untuk tindakan medis menjadi urgensi kemudian hari. Lalu, apa sih ganja medis? Mengapa kandungan dalam ganja termasuk penting dalam dunia kesehatan?
Seputar Ganja
Ganja adalah tanaman yang memiliki kegunaan sebagai obat rekreasi dan salah satu terapi medis karena sifatnya yang psikoaktif. Produk berbasis ganja dapat berasal dari pucuk berbunga yang kering, daun, batang, dan biji tanaman Cannabis sativa. Jika pernah mendengar marijuana, hashish dan sinsemilla, mereka sama-sama produk dari ganja. Tanaman ganja mengandung lebih dari 100 bahan kimia berbeda yang disebut cannabinoid. Masing-masing memiliki efek yang berbeda pada tubuh. Delta-9-tetrahydrocannabinol (THC) dan cannabidiol (CBD) adalah 2 bahan aktif utama yang digunakan untuk tujuan terapeutik. Hal yang membedakan penggunaan rekreasi dan terapeutik adalah pengontrolan dosis dan efek samping sehingga pengguna tidak kecanduan.
Cara Kerja Cannabinoid
Tubuh manusia secara alami menghasilkan beberapa cannabinoid melalui sistem endocannabinoid. Mereka bertindak dengan cara yang mirip dengan persinyalan otak yang mengirim pesan ke seluruh sistem saraf. Pengaruhnya pada area otak yang berperan dalam memori, berpikir, konsentrasi, gerakan, koordinasi, persepsi sensorik, waktu, dan kesenangan. Reseptor yang merespon cannabinoid juga bereaksi terhadap THC dan cannabinoid lainnya. Dengan cara ini, cannabinoids dari sumber luar dapat mengubah dan mengganggu fungsi otak normal. Karena efek ini, seseorang tidak boleh mengendarai mobil, mengoperasikan mesin berat, atau melakukan aktivitas fisik yang berisiko setelah menggunakan ganja. Selain itu, THC merangsang reseptor cannabinoid spesifik yang meningkatkan pelepasan dopamin terkait rasa senang.
Manfaat Ganja Medis
Karena menuai banyak pro kontra, penelitian terkait ganja medis masih sangat terbatas. Sejauh ini, penelitian yang tersedia menunjukkan bahwa ganja dapat membantu mengatasi dan mengurangi keparahan kondisi Alzheimer, kehilangan nafsu makan, nyeri akibat kanker, penyakit Crohn, penyakit sistem imun dan gangguan makan. Banyak juga penelitian yang mengkaitkan efek positif ganja medis terhadap epilepsi, stress pasca trauma, kejang otot dan glaukoma. Ganja medis sendiri menjadi primadona dalam menangani nyeri kanker, sehingga dianggap membantu kesejahteraan pasien kanker.
Efek yang diperoleh dari pengguna ganja medis antara lain mengurangi kecemasan, mengurangi peradangan dan menghilangkan rasa sakit. Untuk pasien yang menjalani terapi radiasi dan kemoterapi, cannabinoid dapat mengontrol mual dan muntah sekaligus memperlambat pertumbuhan sel kanker. Pada penderita kejang dapat membantu relaksasi otot dan mengurangi kekakuan otot. Untuk penderita penyakit sistem imun dan gangguan makan, cannabinoid mampu merangsang nafsu makan dan meningkatkan berat badan lebih alami.
Efek Samping Ganja Medis
Mirip dengan obat-obatan lain, ganja juga memiliki efek samping. Karena sifatnya yang psikoatif, maka efek sampingannya lebih dahsyat dan dapat mengganggu fungsi sehari-hari. Efek samping yang sudah diketahui antara lain mata merah, depresi, pusing, detak jantung cepat, halusinasi, dan penurunan tekanan darah. Obat ini juga mempengaruhi penilaian dan koordinasi. Maka, bagi pengemudi dan pengendali alat berat perlu hati-hati karena resiko kecelakaan dan cedera.
Dampak penggunaan selama masa remaja, ganja berpotensi mengganggu perkembangan otak. IQ dan fungsi mental dapat menurun jika penggunaan dalam waktu lama. Perlu diketahui juga, ganja mengandung beberapa senyawa yang mirip dengan tembakau. Meski belum jelas, namun ada resiko terhadap kesehatan paru. Beberapa bukti sementara menunjukkan peningkatan resiko bronkitis dan kanker pada area kepala-leher. Jadi walau sudah Thailand sudah melegalkan bukan berarti bebas efek samping ya. (M-010)