DENPASAR,MENITINI.COM-Suasana di ruang sidang Pengadilan Negeri Denpasar pada Selasa (25/3) terasa tegang. Dua bersaudara asal Sumba Barat Daya, Fiktorius Pikir Hati alias Fiktor (36) dan Kristoforus Kaka (29), berdiri di hadapan hakim, menghadapi dakwaan berat atas kematian tragis Raymundus Loghe Rangga (33), kakak ipar mereka. Kisah ini bukan sekadar perkara hukum, tetapi juga potret kelam sebuah perselisihan keluarga yang berujung pada duka mendalam.
Semua bermula dari pertengkaran rumah tangga yang melibatkan Fiktor dan istrinya, Monika Muda Kaka. Di tengah amarah yang memuncak, Monika menghubungi kakaknya, Debiana Hangga, yang langsung datang bersama suaminya, Raymundus. Maksud hati ingin melindungi sang adik, Debiana justru menyulut kemarahan Fiktor yang merasa dipermalukan. Satu kejadian malam itu berubah menjadi pemicu tragedi yang tak terbayangkan.
Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Fiktor yang tersulut emosi kemudian menghubungi adiknya, Kristoforus. Keduanya tak datang sendiri. Bersama beberapa rekan sesama pekerja proyek, mereka mendatangi tempat kos Raymundus di Denpasar. Dengan pisau di tangan dan hati yang diliputi dendam, bentrokan yang seharusnya bisa diselesaikan dengan kata-kata berubah menjadi aksi kekerasan yang brutal.
Saat pintu kamar kos terbuka, konfrontasi pun tak terhindarkan. Kata-kata tajam beradu dengan tangan-tangan yang mengepal. Dalam hitungan detik, pukulan demi pukulan menghantam tubuh Raymundus. Hingga akhirnya, pisau yang digenggam Fiktor menikam tubuh korban, diikuti serangan lainnya yang membuat Raymundus terkapar berlumuran darah di lantai kos yang sempit.
Monika dan Debiana yang mendengar kegaduhan hanya bisa menyaksikan dengan ketakutan. Setelah para pelaku pergi, mereka bergegas menarik Raymundus ke dalam kamar. Dalam kondisi lemah, Raymundus masih sempat mencabut pisau yang tertancap di tubuhnya dan melemparkannya ke bawah tempat tidur. Namun, takdir berkata lain. Di tengah usaha menyelamatkannya, darah yang terus mengalir membuatnya kehilangan nyawa sebelum fajar menyingsing.
Tragedi ini menjadi bukti betapa cepat emosi dapat mengubah hidup seseorang. Apa yang awalnya hanya sekadar pertengkaran keluarga, dalam hitungan jam berubah menjadi kisah duka yang menelan satu nyawa. Kini, Fiktor dan Kristoforus, bersama empat terdakwa lainnya, harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum.
Mereka didakwa dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, dengan ancaman hukuman maksimal pidana mati atau penjara seumur hidup. Sementara keluarga korban kini harus berjuang menerima kenyataan pahit kehilangan sosok yang mereka cintai.
Kisah ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa di balik setiap pertikaian, ada pilihan untuk meredam atau membiarkan amarah menguasai diri. Dan sering kali, pilihan itu menentukan nasib seseorang, bahkan menentukan hidup dan mati. (M-011)
- Editor: Daton