Minggu, 24 November, 2024

Turbulensi di Partai Demokrat

Partai Demokrat diguncang Kudeta

Bila Tak Pandai Menari, Jangan Lantai Disalahkan” Peribahasa Melayu

Oleh: Agustinus Apllonaris Klasa Daton

Setiap partai politik pasti punya dinamika. Dan itu lazim. Namun isu kudeta yang menerpa Partai Demokrat tak lazim dan mengejutkan. Mengejutkan karena ada upaya sistematis mendongkel Ketua Umum Partai Demokrat AHY oleh segelintir oknum di internal partai. Begitulah yang terekam di sejumlah media, termasuk media sosial.

Kok bisa? Pertanyaan ini muncul karena kongres Partai Demokrat belum setahun secara aklamasi memilih  Agus Harimurti Yudhoyono sebagai (AHY) sebagai Ketum Partai berlambang mercy itu.  Turbulensi (guncangan) ini cukup mengejutkan karena kongresnya baru selesai, dan ketumnya terpilih aklamasi. 

Dalam logika politik sederhana,  kalau baru terpilih dan aklamasi tentu tidak ada gerakan politik yang saling menyalip atau melindas apalagi muncul kudeta. Dengan kenyataan yang terjadi saat ini menunjukkan aklamasinya Partai Demokrat pada tahun lalu, Maret 2020, sebetulnya bukan aklamasi yang tulus dan ikhlas.

Munculnya isu kudeta diduga karena pergerakan politik di internal Partai Demokrat.  Ada gerakan politik yang lahir belum setahun setelah Ketua Umum AHY terpilih dan secara aklamasi. Lagi lagi ini menandakan kekuasaan Ketum di Demokrat tidak bulat, dan aklamasinya bermasalah karena ada kelompok di Demokrat yang melakukan manuver ganti ketua umum.

Permasalahan muncul lebih banyak di internal Demokrat, bukan dari luar apalagi lingkaran Istana seperti yang disampaikan AHY dalam jumpa pers dengan media. Titik apinya ada di internal Demokrat yang mesti segera dipadamkan terkait isu kudeta ini dengan beberapa pendekatan; silaturahmi, komunikasi dan mengakomodasi. Atau pilihan terakhir; pecat, dan sama sama menempuh proses hukum.

Kalau AHY dan jajaran menuding ada upaya orang luar termasuk lingkaran di sekitar Presiden Jokowi yang mengacak acak Demokrat itu tak mungkin. Karena selain tidak akan berpengaruh,  Jokowi masih memerlukan partai oposisi untuk mengimbangi presiden di sisa masa jabatan yang masih tiga tahun ke depan.

Selain itu, orang luar tak punya hak suara manakala lonceng KLB (kongres luar biasa) itu bergema. Justru titik api di internal Partai Demokrat segera dipadamkan agar tak ada orang luar memakai tangan-tangan orang dalam mewujudkan KLB sekaligus mengobrak-abrik internal partai. Sekali lagi,  Jokowi punya kepentingan terhadap partai oposisi untuk mengimbangi jalannya pemerintahan, dan tidak untuk mengobok obok Partai Demokrat karena itu bukan karakter seorang Jokowi.  

Turbulensi ini sebagai penanda, pengingat AHY untuk segera melakukan konsolidasi sehingga partai tetap solid. Bila Partai Demokrat Solid, AHY tidak perlu gelisah. Kalau sudah solid, kompak, kuat konsolidasinya tak mungkin retak dan guncang.  “Para pimpinan dan kader Demokrat melapor kepada kami tersebut, merasa tidak nyaman dan bahkan menolak ketika dihubungi dan diajak untuk melakukan penggantian Ketum Partai Demokrat,” kata AHY dalam konferensi pers di DPP Partai Demokrat, Jalan Proklamasi, Jakpus, Senin (1/2). “Konsep dan rencana yang dipilih para pelaku untuk mengganti dengan paksa Ketum PD yang sah, adalah dengan menyelenggarakan Kongres Luar Biasa (KLB),” begitulah AHY menyampaikan kepada media.

Nah, agar terhindar dari KLB,  AHY sebagai Ketum Partai Demokrat segera konsolidasi, lakukan silaturahmi, lobby para pemilik suara untuk memantapkan program program partai. Penentu suara itu ada di DPD dan DPW yang diatur di AD/ART partai.

Misalnya, orang luar memberikan masukan agar pemilik suara menggantikan Ketua Umum. Tentu,  masukan itu disampaikan melalui pemilik suara. Makanya sekali lagi, kuatkan konsolidasi, jalin silaturahmi, akomodir pemegang suara di daerah daerah,

Suka tak suka di internal Partai Demokrat masih ada faksi yang perlu pendekatan AHY sebagai Ketum. Ada faksi Subur Budi Santoso, pendukung Hadi Utomo, pendukung Anas Urbaningrum dan faksi Marzuki Alie.

Bila pendekatan ini tak mempan maka berikan sanksi tegas, pecat dan masing masing menempuh proses hukum. Langkah ini untuk meredam turbulensi berkepanjangan sekaligus terhindar dari stigma peribahasa melayu “Bila tak pandai menari, jangan lantai pula disalahkan”**