AMBON, MENITINI.COM – Daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) yang merupakan dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh pengguna anggaran disalahkan gunakan. Kini korupsi DIPA Politeknik Negeri Ambon kembali digelar menghadirkan tiga terdakwa masing-masing Fentje Salhuteru, Kristina Siwalette dan Welma Ferdinandus. Majelis hakim diketuai Wilson Shriver, beranggotakan Agustina Lamabelawa dan Raharjo
Empat saksi dihadirkan JPU yakni Lutfina Formes dosen akuntansi. Meske Helena Tanga, dosen administrasi niaga, Mersy Karolina Silooy, dan Aprilia Latuputty PNS pada Politeknik Negeri Ambon.
Sementara tim JPU terdiri dari Novi S Temmar, Inggrid Louhenapessy dan Endang Anakoda. JPU Novita S Temmar mencercar saksi Lutfina Formes dan saksi Meiske Helena Tanga.
“Ini Resertivikasi para dosen untuk sertifikasi ulang?,” telisik JPU Novi S Temmar.
“Iya ibu jaksa, saya Sekertaris Tim dengan 8 anggota. Pelaksanaan Uji kompetensinya 5 hari,” ungkap saksi Lutfina.
Saksi menjelaskan kalau pelaksanaan kegiatan berlangsung di hotel Golden Place. Ada 2 termin, yakni Rp 43 juta 44 ribu.
Yang menerima ketua panitia dari PPK Welma Ferdinandus, dengan total Rp 213 juta. Dua termin tersebut berlangsung pada September 2022, Kedua, pada Oktober.
Anehnya, saksi Lutfina ngaku tidak tahu soal fee 3 persen. Tapi beban Rp 8 juta 800 ribu sudah diselesaikan olehnya.
Dia mengaku ada terima anggaran paduan suara Rp 13 juta, sementara untuk Porseni Rp 14 juta, yang diterima dari Wadir Meny Huliselan.
Yang mana terdakwa Welma Ferdinandus bilang ada potongan pajak dan fee dan totalnya Rp 15 juta. Saksi merupakan staf PPK Welma, yang mengaku menerima fee dari CV Prima untuk paduan suara.
Sementara JPU Inggrid Louhenapessy mempertanyakan cabang seni paduan suara dan pengadaan kostum peserta. Sedang JPU Endang Anakoda mencercar soal pembelanjaan habis pakai, yang diterima saksi Mersy Carolina Silooy tahun 2022 untuk kegiatan Sains.
“Iya saya terima anggaran Rp 32 juta 530 ribu dibagi 4 tahap. Ibu Welma 3 kali, dan oleh ibu boya 1 kali, tapi tidak sesuai SPJM seharusnya Rp 15 juta tahap pertama tapi tidak sampai Rp 15 juta, saya hanya terima Rp 13 juta 28 ribu,” akui saksi Carolina.
Menurut saksi harusnya Rp 37 juta 500 ribu. Bahkan saksi tidak pernah tanya fee 3 persen, yang tidak tahu dikemanakan. “Katanya untuk pihak ketiga,” ujar saksi Carolina.
Pihak ketiga saksi mengaku tidak tau.
Endang cercar Aprilia Latuputty yang merupakan dari bagian akademik yang tangani administrasi mahasiswa sekaligus Ketua PDPT, atau pangkalan data perguruan tinggi.
“Saya staf tim, tidak tau kebijakan siapa. Memang ada kelebihan uang, diantara 4 kali ini disisihkan sedikit2 sptjm Rp 32 juta, Tapi Rp 27 juta sudah kembalikan,” akui saksi Aprilia.
Dia mengaku ajukan proposal Rp 50 juta disposisi ke Wadir II tapi hanya sekian juta, pakai uang sendiri, tapi yang keluar Rp 19 juta sekian, sebut Aprilia.
Di akhir sidang penasehat hukum Kristin Siwalette dan Dani Huliselan menanyakan saksi Aprilia Latuputty terkait pengelolaan anggaran ke Wadir II Fentje Salhuteru. Namun saksi Aprilia mengaku tidak mengetahui. (M-009)
- Editor: Daton